Manakah produk kami yang paling Anda sukai?

Minggu, 18 Juli 2010

Hukum Memakan Kelelawar Dalam Islam...

Artikel ini disalin dari: www.abul-jauzaa.blogspot.com
Karya: Abu Al-Jauzaa', 16 Juli 2010

Tanya : Apakah hukum makan kelelawar yang sebagian dari tubuhnya digunakan obat ?
Jawab : Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Syafii’iyyah dan Hanaabilah mengharamkannya. Adapun Maalikiyyah hanya memakruhkannya saja, sedangkan Hanafiyyah berselisih dalam boleh tidaknya. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengharamkan daging kelelawar[1]. Mereka berdalil dengan riwayat :
عن عَبد الله بن عَمْرو ، أنه قال : لاَ تقتلوا الضفادع فإن نقيقها تسبيح ، ولا تقتلوا الخفاش فإنه لما خرب بيت المقدس قال : يا رب سلطني على البحر حتى أغرقهم
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbiih. Dan jangan kalian membunuh kelelawar, karena ketika Baitul-Maqdis roboh ia berkata : ‘Wahai Rabb, berikanlah kekuasaan padaku atas lautan hingga aku dapat menenggelamkan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/318 & Ash-Shughraa 8/293 no. 3907 & Al-Ma’rifah hal. 456 – Al-Baihaqiy berkata : “Sanadnya shahih”]. [2]
Setelah menyebutkan hadits di atas, Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله .........
“Telah berkata shahabat-shahabat kami : Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 8/294].
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
قال مقيده عفا الله عنه: والظاهر في مثل هذا الذي صح عن عبد الله بن عمرو من النهي عن قتل الخفاش والضفدع أنه في حكم المرفوع لأنه لا مجال للرأي فيه. لأن علم تسبيح الضفدع وما قاله الخفاش لا يكون بالرأي، وعليه فهو يدل على منع أكل الخفاش والضفدع.
وقال ابن قدامة في "المغني": ويحرم الخطاف والخشاف أو الخفاش وهو الوطواط،
قال أحمد: ومن يأكل الخشاف؟ وسئل عن الخطاف فقال: لا أدري، وقال النخعي: أكل الطير حلال إلا الخفاش، وإنما حرمت هذه لأنها مستخبثة لا تأكلها العرب اهـ. من المغني. والخشاف هو الخفاش، وقد قدمنا عن مالك وأصحابه جواز أكل جميع أنواع الطير: واستثنى بعضهم من ذلك الوطواط.
“Telah berkata penulis kitab ini (yaitu Asy-Syinqithiy) – semoga Allah memaafkannya - : ‘Dan yang nampak pada riwayat semacam ini yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Amru tentang larangan membunuh kelelawar dan katak; maka riwayat itu dihukumi marfu’,[3] karena tidak ada ruang untuk ra’yu berbicara tentangnya. Karena, pengetahuan tentang tasbih-nya katak dan yang dikatakan oleh kelelawar (dalam riwayat di atas) tidak mungkin berasal dari ra’yu. Dengan demikian, riwayat ini menunjukkan pelarangan memakan kelelawar dan katak’.
Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughniy berkata : ‘Diharamkan khuththaaf (sejenis kelelawar) dan khasysyaaf (kelelawar) atau khaffaasy dan ia sama dengan wathwaath’. Ahmad berkata : ‘Siapakah yang memakan kelelawar ?’. Ketika ia ditanya tentang khuththaaf ia menjawab : ‘Aku tidak tahu’. An-Nakha’iy berkata : ‘Memakan burung adalah halal, kecuali kelelawar. Ia diharamkan hanyalah karena menjijikkan dan orang Arab tidak memakannya’ – selesai dari Al-Mughniy. Al-kasysyaaf adalah al-kaffaasy. Telah kami jelaskan sebelumnya dari Maalik dan rekan-rekannya yang membolehkan memakan semua jenis burung, dan mereka mengecualikan sebagian di antaranya yaitu kelelawar” [Adlwaaul-Bayaan, 1/541-542].
Allah ta’ala berfirman :
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan diharamkan bagi mereka segala yang buruk” [QS. Al-A’raf : 157].
Dan kelelawar termasuk jenis makanan yang buruk.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 1431].


[1] Bahasa Arabnya : Kaffaasy atau wathwaath atau khusyaaf atau khuththaaf.
[2] Telah berkata Al-Baihaqiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab : Telah memberitakan Hisyaam Ad-Dustuwaaiy, dari Qataadah, dari Zuraarah bin Aufaa, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “…….(al-hadits)….”.
Abu ‘Abdillah, ia adalah Ishaaq bin Muhammad bin Yuusuf bin Ya’quub bin Ibraahiim bin Ishaaq bin Yuusuf As-Suusiy An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah, diridlai, shaalih, lagi pandai [Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy, no. 26].
Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, ia adalah Muhammad bin Muusaa bin Al-Fadhl bin Syaadzaan An-Naisaabuuriy Ash-Shairafiy; seorang yang tsiqaah, diridlai, dan masyhur dengan kejujurannya [Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy, no. 154].
Abul-‘Abbaas, ia adalah Muhammad bin Ya’quub bin Yuunus bin Ma’qil bin Sinaan – terkenal dengan nama Al-Asham; seorang muhaddits di jamannya, tsiqah, ma’muun, tidak diperselisihkan tentang kejujuran dan keshahihan penyimakan haditsnya [lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/452-460 no. 258].
Yahyaa, ia adalah Ibnu Abi Thaalib Ja’far bin ‘Abdillah bin Az-Zibriqaan. Ibnu Abi Haatim berkata : Aku menulis darinya bersama ayahku. Dan aku pernah bertanya kepada ayahku tentangnya, maka ia menjawab : “Tempatnya kejujuran”. Al-Aajurriy berkata : “Abu Daawud Sulaimaan bin Al-Asy’ats menulis hadits Yahyaa bin Abi Thaalib”. Muusaa bin Haaruun berkata : “Aku bersaksi bahwa Yahyaa bin Abi Thaalib berdusta”. Abu Ahmad Muhammad bin Muhammad Al-Haafidh berkata : “Yahyaa bin Abi Thaalib tidak kokoh/kuat”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Menurutku tidak mengapa dengannya. Tidak ada seorang pun yang mencelanya dengan hujjah (yang benar)” [lihat Taariikh Baghdaad, 16/323-325 no. 7464]. Ibnu Hajar menyepakati perkataan Ad-Daaruquthniy tersebut. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tidak mengapa dengannya. Orang-orang telah memperbincangkannya” [Lisaanul-Miizaan, 8/452-453]. Perkataan yang benar, ia seorang yang hasan haditsnya. Adapun persaksian Muusaa bin Haarun, Adz-Dzahabiy memberikan kemungkinan bahwa yang dikatakannya itu bukan dalam hadits, sebab Ad-Daaruquthniy adalah orang yang lebih mengetahui tentangnya. Wallaahu a’lam.
‘Abdul-Wahhaab, ia adalah Ibnu ‘Athaa’ Al-Khaffaaf; seorang yang diperselisihkan. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits, mudltharib” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 2/399]. Telah berkata ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy dan Abu Bakr bin Abi Khaitsamah, dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak mengapa dengannya”. Telah berkata Al-Ghallaabiy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Ditulis haditsnya”. Dan telah berkata ‘Abbaas Ad-Duuriy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq, namun tidak kuat”. Ibnu Abi Haatim berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentangnya, lalu ia menjawab : ‘Tempatnya kejujuran’. Aku bertanya lagi : ‘Apakah ia lebih engkau senangi ataukah Abu Zaid An-Nahwiy dalam riwayat Ibnu Abi ‘Aruubah ?’. Ia menjawab : ‘’Abdul-Wahhaab di sisi mereka bukanlah seorang yang kuat dalam hadits”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang shaduuq, insya Allah”. Ibnu Hibbaan dan Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Al-Bukhaariy berkata : “Ditulis haditsnya,….aku harapkan (haditsnya dapat dipergunakan sebagai hujjah)”. An-Nasaa’iy dan Ibnu ‘Adiy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Al-Hasan bin Sufyaan berkata : “Tsiqah”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak kuat. Namun para ulama telah membawakan haditsnya” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/450-453 no. 838]. Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq” [Miizaanul-I’tidaal, 2/681 no. 5322]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 633 no. 4290]. Kesimpulannya, ia seorang yang shaduuq.
Hisyaam Ad-Dustuwaaiy adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1022 no. 7348].
Qataadah, ia adalah Ibnu Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun masyhuur dalam tadlis [lihat : Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 102 no. 92].
Zuraarah bin Aufaa Al-‘Aamiriy Al-Harasyiy; seorang yang tsiqah ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 336 no. 2020].
Sanad hadits ini lemah karena ‘an’anah dari Qataadah. Akan tetapi Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir no. 521 membawakan jalur lain sebagai berikut : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Al-Hasan Abu Hafsh Al-Qaadliy Al-Halabiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Musayyib bin Waadlih : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad, dari Syu’bah, dari Qataadah, dari Zuraarah bin Aufaa, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل الضفدع، وقال : نقيقها تسبيح
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh katak, karena suaranya adalah tasbiih”.
‘Umar bin Al-Hasan Abu Hafsh Al-Qaadliy Al-Halabiy adalah seorang yang tsiqah [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 446-447 no. 707].
Al-Musayyib bin Waadlih As-Sulamiy At-Tallamannasiy Al-Himshiy; seorang yang diperselisihkan. Abu Haatim berkata : “Shaduuq, banyak salahnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil 9/294]. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat (9/204), dan kemudian berkata : “Banyak salahnya (kaana yukhthi’)”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif” [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 651 no. 3497]. Al-Jurqaaniy berkata : “Banyak salahnya” [Al-Abaathil 1/506 no. 315].
Hajjaaj bin Muhammad Al-Mushiishiy, seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun tercampur hapalannya di akhir umurnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 224 no. 1144].
Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin [idem, 436 no. 2805].
Sanad hadits ini lemah karena kelemahan dari Al-Musayyib. Akan tetapi ini bisa dijadikan mutaba’ah bagi riwayat pertama sekaligus untuk menghilangkan syak akan ‘an’anah dari Qataadah, sebab dalam jalur ini Syu’bah telah meriwayatkan darinya. Periwayatan Syu’bah dari Qataadah dibawa pada hukum muttashil meskipun Qataadah membawakan dengan ‘an’anah [lihat Riwaayatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy, hal. 484].

Oleh karena itu, status hadits ini adalah hasan. Dan para ulama menjelaskan bahwa yang mahfudh adalah riwayat yang mauquf sebagaimana riwayat yang pertama. wallaahu a’lam.
[3] Dihukumi setara dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Jumat, 16 Juli 2010

Mengenal Bid'ah



1. Mengenal kata "Bid'ah"

Banyak orang yang berkerut keningnya ketika pertama kali mendengar kata ini. Bermacam reaksi muncul dari seseorang ketika diingatkan tentang masalah ini. Ada yang menerimanya dan memperbaiki amalan ibadahnya dengan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Ada pula yang terlalu cepat menutup diri untuk memahaminya sehingga lebih sering berkata, “Ah… bisanya cuma membid’ah-bid’ahkan.”


Adapula yang memang sudah tidak asing dengan kata ini, tapi ternyata memiliki pemahaman yang salah dalam memaknainya. Ketahuilah saudara-saudariku! Pembahasan tentang bid’ah bukanlah milik golongan tertentu. Bahkan setiap muslim harus mempelajarinya dan mewaspadainya dan tidak menutup diri dari pembahasan ini. Karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة

“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867)

Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة

“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

Sama seperti pembahasan tentang kata sunnah pada artikel yang lalu, maka sungguh pembahasan ini sangat (sangat) penting, karena jika tidak memahaminya atau bahkan salah memaknainya, maka dapat mengakibatkan kesalahan dalam beramal dan beribadah. Semoga Allah memberikan kelapangan dalam dada-dada kita, untuk menerima kebenaran yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam.

Makna Bid’ah Secara Bahasa

Makna bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Penggunaan kata bi’dah secara bahasa ini di antaranya ada dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ

“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (Al Ahqaf [46]: 9)

Dan juga firman-Nya,

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

“Dialah Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqoroh [2]: 117)

Makna Bid’ah Secara Istilah

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam agama yang menandingi syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah.

Dari definisi ini, kita perlu memperjelasnya menjadi beberapa poin.

Pertama, ’suatu cara baru dalam agama’.

Hal ini berarti cara atau jalan baru tersebut disandarkan kepada agama. Adapun cara baru yang tidak dinisbatkan kepada agama maka itu bukan termasuk bid’ah. (akan dibahas lebih rinci di bawah).

Kedua, ‘menandingi syari’at’.

Maksudnya amalan bid’ah mempersyaratkan amalan tertentu yang menyerupai syari’at, sehingga ada beban yang harus dipenuhi. Seperti misalnya puasa mutih, yasinan setiap hari kamis (malam jum’at), puasa nisyfu sya’ban dan lain-lain.

Perlu diperhatikan pula bahwa pada umumnya, setiap bid’ah juga memiliki dalil. Namun, janganlah terjebak dengan dalil yang diberikan, karena ada dua kemungkinan dari dalil yang diberikan. Pertama, dalil tersebut bersifat umum namun digunakan dalam amalan khusus. Kedua, bisa jadi dalil yang digunakan adalah palsu.

Oleh karena itu, wahai saudara-saudariku, menuntut ilmu agama sangat penting melebihi kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Ilmu agama dibutuhkan di setiap tarikan nafas kita karena dalil dibutuhkan untuk setiap ibadah yang kita lakukan. Merupakan kesalahan ketika kita melakukan ibadah terlebih dahulu baru mencari-cari dalil. Inilah yang membuat pengambilan dalil tersebut menjadi tidak tepat karena sekedar mencari pembenaran pada amalan yang sebenarnya bukan termasuk syari’at.

Ketiga, ‘tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah’. Artinya, setiap bid’ah merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam agama, sehingga dengan adanya bid’ah tersebut maka beban seorang muslim (mukallaf) akan bertambah. Salah satu contohnya mengkhususkan puasa nisyfu sya’ban, padahal puasa ini tidak disyari’atkan dalam Islam. Sungguh merugi bukan? Kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan sia-sia.

Mewaspadai Bid’ah

Dari definisi yang telah disebutkan menunjukkan bid’ah tidak lain merupakan perbuatan yang bertujuan menandingi syari’at. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maaidah [5]: 3)

Maka tidak perlu lagi bagi seseorang untuk membuat cara baru dalam agama atau mencari ibadah-ibadah lain yang itu adalah kesia-siaan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

منْ عمِل عملا ليس عليه اَمرنا فهو ردّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مِنه فهوردٌّ

“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini, ada tiga unsur yang membuat sesuatu dapat dikatakan sebagai bid’ah.

Pertama, mengada-adakan.

Ini diambil dari lafadz man ahdatsa (من أحدث). Akan tetapi membuat sesuatu yang baru bisa terjadi dalam perkara dunia ataupun agama. Maka diperlukan unsur yang kedua.

Kedua, perkara baru tersebut disandarkan pada agama.

Ini diambil dari lafadz fii amrina (في أمرنا). Unsur kedua ini perlu dilengkapi unsur ketiga. Karena jika tidak, akan timbul pertanyaan atau keraguan, “Apakah semua perkara baru dalam agama tercela?”

Ketiga, perkara tersebut bukan bagian dari agama.

Ini diambil dari lafadz ma laisa minhu (ما ليس مِنه). Artinya, tidak ada dalil yang sah bahwa hal tersebut pernah ada.

Setiap Bid’ah Adalah Sesat

Ketahuilah saudara-saudariku. Setiap bid’ah adalah sesat. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة

“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867)

Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة

“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

Adapun pembagian yang ada pada bid’ah, maka tetap menunjukkan kesesatan bid’ah tersebut. Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah adalah sebuah kesalahan sebagaimana penulis jelaskan sebab-sebabnya dalam artikel sebelumnya.

Imam Syathibi rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya pembagian bid’ah (yang tetap menetapkan kesesatan seluruh bid’ah) yang dapat memperjelas kerancuan yang ada di masyarakat.

Yang pertama adalah bid’ah hakiki yang perkaranya lebih jelas (kecuali bagi orang-orang yang taklid dan tidak mau belajar) karena bid’ah hakiki tidak memiliki sandaran dalil syar’i sama sekali. Semisal menentukan kecocokan seeorang untuk menjadi suami atau istri dengan tanggal lahir atau melakukan ritual-ritual khusus dalam acara pernikahan yang tidak ada landasannya dalam syari’at sama sekali.

Adapun jika berkaitan dengan bid’ah idhofi maka sebagian orang mulai rancu dan bertanya-tanya. Misalnya, bid’ah dzikir berjama’ah, atau tahlilan. Banyak orang terburu-buru dengan mengatakan, “Masa dzikir dilarang sih?” atau “Kok membaca Al Qur’an dilarang?” Maka kita perlu (sekali lagi) memahami lebih dalam tentang bid’ah ini.

Bid’ah idhofi ini mempunyai dua sisi, sehingga apabila dilihat pada salah satu sisi, maka seakan-akan itu sesuai dengan sunnah karena berdasarkan dalil. Namun bila dilihat dari sisi lain, amalan tersebut bid’ah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada dalil atau tidak disandarkan kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari sisi makna, maka bid’ah idhofi ini secara asal memiliki dalil. Akan tetapi dilihat dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang digunakan tidak mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut membutuhkan dalil. (Majalah Al-Furqon edisi 12 tahun V).

Maka jelas yang dilarang bukanlah dzikir atau membaca Al-Qur’an untuk contoh dalam masalah ini. Akan tetapi, kebid’ahan tersebut terletak pada tata cara, sifat atau perincian pada ibadah tersebut yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan melafadzkan dzikir bersama-sama dipimpin satu imam atau membaca Al-Qur’an untuk orang mati. Semuanya ini adalah cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Catatan penting dalam masalah ini adalah dalam perkara ibadah (yaitu apa-apa yang kita niatkan untuk mendekatkan diri kita pada Allah Subhanahu wa Ta’ala), kita harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan yang dicontohkan dan diperintahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah saudara-saudariku, sedikit pengantar untuk memahami tentang kata bid’ah dan bahayanya. Pembahasan tentang bid’ah memiliki lingkup yang sangat luas – yang dengan keterbatasan penulis – tidak dapat dituangkan seluruhnya dalam tulisan kali ini. Untuk memperdalam pembahasan, silakan melihat kembali kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan. Semoga Allah Ta’ala mempermudah kita dalam memahami pembahasan ini dan menerimanya dengan lapang dada serta menjadikan kita orang-orang yang berusaha kuat menjauhi perkara baru dalam agama. Aamiin ya mujibas saailin.

Maraji’:

1. Majalah Al Furqon edisi 12 tahun V/rajab 1427
2. Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Ustadz Aris Munandar
3. Ringkasan Al I’tisham – terj -, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf, Media Hidayah, Cet I, thn 2003

***

Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih

Artikel www.muslimah.or.id

2. Komparasi makna bid'ah dan kerancuan terhadapnya

Banyak perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau mungkin salah paham) tentang bid’ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid’ah itu sesuatu yang boleh dikerjakan. Untuk itulah pada artikel ini penulis akan membahas berbagai kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat. Dan untuk memperjelas artikel sebelumnya, maka pada artikel ini insya Allah akan disertai beberapa contoh. Semoga Allah memudahkan.


Definisi

1. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]

2. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]

Jadi, terdapat empat poin penting;

1. Makna bid’ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
2. Makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
3. Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan bagian dari agama
4. Setiap bid’ah adalah sesat.

Kerancuan Pertama: Antara Adat dan Ibadah

Dalam pembahasan tentang bid’ah, terdapat kerancuan (syubhat) yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang kurang jeli semacam kata-kata, “Kalau begitu, Nabi naik onta, kamu naik onta juga saja.” atau kata-kata “Ini bid’ah, itu bid’ah, kalau begitu makan nasi juga bid’ah, soalnya gak ada perintahnya dari nabi”, dan komentar-komentar senada lainnya.

Jawaban

Saudara-saudariku… perlulah engkau membedakan, antara sebuah ibadah dan sebuah adat. Sebuah amalan ibadah, hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil syar’i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan. Sedangkan sebaliknya, hukum asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya.

Contoh dalam masalah ibadah adalah ibadah puasa. Hukum asalnya adalah haram. Namun, karena telah ada dalil yang mewajibkan kita wajib puasa Ramadhan, atau dianjurkan puasa sunnah senin kamis maka ibadah puasa ini menjadi disyari’atkan.

Namun, coba lihat puasa mutih (puasa hanya makan nasi tanpa lauk) yang sering dilakukan orang untuk tujuan tertentu. Karena tidak ada dalil syar’i yang memerintahkannya, maka seseorang tidak boleh untuk melakukan puasa ini. Jika ia tetap melaksanakan, berarti ia membuat syari’at baru atau dengan kata lain membuat perkara baru dalam agama (bid’ah).

Contoh masalah adat adalah makan. Hukum asalnya makan adalah halal. Kita diperbolehkan (dihalalkan) memakan berbagai jenis makanan, misalnya nasi, sayuran, hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah.

Di sisi lain, ternyata syari’at menjelaskan bahwa kita diharamkan untuk memakan bangkai, darah atau binatang yang menggunakan kukunya untuk memangsa. Jadi, meskipun misalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan nasi, bukan berarti orang yang makan nasi mengadakan bid’ah. Karena hukum asal dari makan itu sendiri boleh.

Catatan Penting!

Akan tetapi di sisi lain, ada orang yang mengkhususkan perkara adat ini menjadi ibadah tersendiri. Ini adalah terlarang. Maka, harus dilihat kembali penerapan dari kaedah bahwa hukum asal sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.

Contoh dalam masalah ini adalah masalah pakaian. Pakaian termasuk perkara adat, dimana orang diberi kebebasan dalam berpakaian (tentu saja dengan batasan yang telah dijelaskan dalam Islam). Namun, ada orang-orang yang mengkhususkan cara berpakaian dengan alasan bahwa cara berpakaian tersebut diatur dalam Islam, sehingga meyakininya sebagai ibadah. Contohnya adalah harus menggunakan pakaian terusan bagi wanita atau harus menggunakan pakaian wol (biasa dilakukan orang-orang sufi). Karena perkara adat ini dijadikan perkara ibadah tanpa didukung oleh dalil-dalil syar’i, maka cara berpakaian dengan keyakinan semacam ini menjadi terlarang.

Berbeda dengan orang yang menjadikan perkara adat atau perkara mubah lainnya menjadi bernilai ibadah dan menjadikannya sebagai perantara bagi sebuah ibadah yang disyari’atkan atau melakukan perkara adat tersebut sesuai dengan tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ini diperbolehkan.

Contoh dalam masalah ini adalah makan. Makan adalah perkara adat. Hukum asalnya adalah diperbolehkan. (catatan; karena setiap perkara duniawi hukumnya boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Namun perkara adat ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang makan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam atau makan ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang niatkan untuk melakukan ibadah lain yang memang telah disyari’atkan.

Misalnya, seseorang makan agar kuat melakukan sholat dzuhur, atau seorang bapak sarapan pagi dengan niat kuat bekerja dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.

Contoh lainnya adalah tidur. Tidur memang dapat menjadi ibadah ketika seseorang tidur sesuai tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ketika diniatkan tidur itu untuk melakukan ibadah lain yang memang telah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya tidur di awal malam agar kuat sholat tahajjud di sepertiga malam yang terakhir.

Semoga Allah mempermudah kita untuk memahami dua hal yang berbeda ini! Sungguh indah perkataan Abul Ahwash ketika ia berkata kepada dirinya sendiri,

“Wahai Sallam, tidurlah kamu menurut sunnah. Itu lebih baik daripada kamu bangun malam untuk melakukan bid’ah.”
(Al Ibanah no. 251, Lihat Membedah Akar Bid’ah).

Kerancuan Kedua: Antara Bid’ah dan Mashalih Mursalah

Kerancuan lain yang sering muncul adalah berkaitan dengan hal-hal yang biasa dipergunakan dalam agama, semacam mikrofon, mushaf al-Qur’an, sekolah Islam dan lain sebagainya. Seakan-akan perkara-perkara tersebut sesuai dengan ciri-ciri bid’ah, terutama karena perkara tersebut disandarkan pada agama. Sehingga ada orang yang berkata, “Berarti pake mik sewaktu adzan ga boleh dong. Kan zaman nabi gak pake mik..” dan semisalnya..

Jawaban

Pada poin ini, perlu bahasan yang lebih rinci lagi berkaitan dengan mashalih mursalah. Syathibi dalam kitabnya al I’tishom telah menjelaskan perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid’ah yang akan dapat dimengerti oleh orang yang mau memahami. Berikut ini perbedaan tersebut dengan penyesuaian dari penulis.

Pertama

Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari’at, sehingga dalam penetapannya tetap memperhatikan dalil-dalil syari’at.

Misalnya: pengumpulan mushaf Al Qur’an. Karena pengumpulan ini sifatnaya sesuai dengan maksud syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil syari’at maka pengumpulan mushaf Al-Qur’an bukanlah bid’ah walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengumpulkannya. Karena pengumpulan mushaf Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga sumber syari’at. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr 15: 9)

Namun coba perhatikan, terdapat perkara yang dibuat-buat, dimana seseorang mulai menyebutkan ‘khasiat-khasiat’ baru dari baris-baris yang ada dalam lembaran Al Qur’an. Sehingga orang mencetak dalam satu lembar harus ada 18 baris atau 16 baris dengan keyakinan-keyakinan yang tidak ada dalilnya dalam syari’at. Maka yang seperti ini tidak termasuk dalam mashalih mursalah.

Kedua

Mashalih mursalah lingkupnya adalah pada perkara-perkara yang dapat dipahami oleh akal.

Contohnya adalah penggunaan mikrofon di masjid-masjid. Kita ketahui mikrofon berguna untuk memperjelas suara sehingga dapat didengar sampai jarak yang jauh. Hal ini termasuk perkara adat dimana kita boleh mempergunakannya. Hal ini semisal kacamata yang dapat memperjelas huruf-huruf yang kurang jelas bagi orang-orang tertentu.

Sebagaimana perkataan Syaikh As Sa’di rahimahullah kepada orang berkacamata yang mengatakan bahwa pengeras suara adalah bid’ah, beliau berkata,

“Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kaca mata dapat membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan. Demikian juga halnya pengeras suara, dia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan majlis-majlis ilmu. Jadi mikrofon merupakan keikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.”

(Mawaqif Ijtima’iyyah min Hayatis Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Muhammad As Sa’di dan Musa’id As Sa’di. Lihat Majalah Al Furqon edisi 5 tahun 7)

Berbeda halnya dengan bid’ah. Amalan-amalan bid’ah tidak dapat dipahami oleh akal. Hal ini dikarenakan bid’ah merupakan amalan ibadah yang berdiri sendiri. Padahal tidaklah amalan ibadah dapat dipahami oleh akal. Semisal, mengapa sholat fardhu ada lima, dan mengapa jumlah raka’aatnya berbeda-beda. Atau mengapa ada dzikir yang berjumlah 33. Maka semua ibadah ini tidak dapat dipahami maksudnya oleh akal.

Ketiga

Mashalih mursalah diadakan untuk menjaga perkara yang sifatnya vital (dharuri), serta menghilangkan permasalahan berat yang biasanya muncul dalam perkara agama.

Perkara dharuri yang dimaksud misalnya adalah agama. Sebagaimana contoh pertama, maka penyusunan mushaf Al Qur’an kita dapat pahami berkaitan untuk menjaga agama agar kemurnian Al Qur’an tetap terjaga.

Coba bedakan dengan bid’ah. Sebagaimana penulis sebutkan pada artikel sebelumnya, bahwa bid’ah dibuat untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah sehingga bid’ah justru menambah beban bagi seorang muslim. Contohnya adalah mengadakan peringatan isra mi’raj, maulid atau yang semacamnya sehingga menambah beban seseorang untuk mengeluarkan dana dan tenaga untuk mengadakan acara tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan untuk merayakan hal-hal tersebut.

Disusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Sumber: www.muslimah.or.id

Antara Bid’ah dan Niat Baik

Setelah melihat contoh-contoh mashalih mursalah pada artikel sebelumnya, mungkin saja terbersit kembali di benak seseorang: “Tapi kan aku niatnya baik…”


Jawaban


Saudara-Saudariku…perlulah kita ketahui berbagai macam dalih dan kedurhakaan Yahudi dikarenakan dalih niat baik, namun mereka menghalalkan segala cara untuk niat baiknya itu. Sungguh banyak hadits yang menjelaskan bahwa sekedar niat baik itu tidaklah cukup. Niat baik (ikhlas) itu harus dibarengi dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu contohnya adalah dalam hadits berikut.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimana kita jika dibanding dengan Nabi shalalllahu ‘alahi wa sallam? Ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”

Seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, maka aku akan sholat malam selama-lamanya.”

Yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahr(setiap hari) dan aku tidak akan pernah buka.”

Dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya.”

Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian yang telah berkata demikian dan demikian? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari no 5063 & Muslim 1401)

Lihatlah kesungguhan dan niat baik ketiga orang tersebut dalam beribadah. Namun, niat mereka langsung dibantah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan jika mereka tetap melakukan niatan tersebut, maka sama saja mereka membenci sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena niat baik mereka tidak diikuti dengan cara yang benar yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka yang benar dalam sebuah ibadah adalah tidak sekedar memperhatikan niat semata, namun juga cara melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyad ketika menafsirkan firman Allah,

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk. 2)

Beliau rahimahullah berkata, “Maksudnya, ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan sunnah Rasulullah.” (Hilyatul Auliya’ : VIII/95. Lihat Membedah Akar Bid’ah)

Antara Bid’ah dan Maksiat

Banyak orang menganggap seseorang melakukan bid’ah lebih baik daripada seseorang melakukan maksiat. Mereka menganggap bahwa orang yang melakukan bid’ah itu sudah dekat dengan agama, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan amalan-amalannya. “Daripada mencuri atau minum minuman keras”, kata mereka.

Jawaban

Sungguh pemikiran seperti ini harus dikoreksi dengan beberapa alasan:

Pertama

Karena telah banyak hadits yang menjelaskan bahayan bid’ah, padahal orang yang melakukan bid’ah tersebut menanggap mereka melakukan ibadah dengan penuh kesungguhan yang sangat. Akan tetapi amat disayangkan, amalan mereka tidak diterima bahkan mendapat adzab dari Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam jelaskan tentang kelompok khawarij yang salah satu ciri mereka adalah sangat banyak beribadah,

“Salah seorang dari kalian merasa shalatnya lebih rendah nilainya daripada shalat mereka (kelompok khawarij), puasanya lebih rendah nilainya daripada puasa mereka, tilawahnya lebih rendah nilainya daripada tilawah mereka. Mereka membaca Al Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka (tidak memahaminya). Mereka telah melesat keluar dari Islam sebagaimana anak panah melesat dari busurnya…” (HR. Bukhari)

Kedua

Kita ketahui orang yang melakukan maksiat menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya terlarang dalam agama dan berdosa, sehingga ketika diingatkan mereka mengakui kesalahannya tersebut walau belum mampu meninggalkan maksiat yang dilakukannya.

Berbeda dengan pelaku bid’ah, mereka menganggap bahwa amalan yang mereka lakukan adalah ibadah, apalagi mereka menjalankannya dengan penuh kesungguhan. Sehingga jika diperingatkan, mereka akan sulit meninggalkannya karena menganggap itu adalah sebuah kebenaran.

Atau ketika menyadari bahwa itu adalah perkara yang baru dalam agama maka mereka mengatakan bahwa amalan (bid’ah) yang mereka lakukan adalah bid’ah hasanah, padahal tidaklah maksud dari kata-kata tersebut melainkan mengatakan semua bid’ah adalah hasanah.

Contoh dalam masalah ini adalah ketika orang melakukan kemaksiatan mencuri, ia menyadari ada larangannya dalam Islam. Maka, ia menyadari sedang melakukan dosa. Namun, jika seseorang diperingatkan untuk tidak melakukan yasinan, maka serta merta kerenyit muka tak senang muncul dan mengatakan, “Masa baca Qur’an dilarang.” Padahal maksud dari orang yang memberikan nasihat, bukan melarang seseorang membaca Al-Qur’an. Namun yang terlarang adalah mengkhususkan membaca surat Yasin pada hari-hari tertentu dengan keyakinan itu adalah ibadah.

Benarlah ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri,

“Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat.”

Sebab maksiat orang mudah untuk meninggakannya, sedang bid’ah orang sulit untuk meninggalkannya.” (dinukil dari Musnad Ibnul Ja’d oleh syaikh Ali Hasan)

Bid’ah Tarawih?

Satu lagi kerancuan yang sering kali muncul ketika membahas tentang bid’ah adalah ibadah sholat tarawih. Banyak orang mengira, tarawih tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkeyakinan demikian, apalagi dengan adanya perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika melihat orang-orang beribadah sholat tarawih berjama’ah, ia berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Jawaban

Sesungguhnya wahai saudara-saudariku… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan, baik sendirian maupun berjama’ah. Sebagaimana dalam hadits berikut,

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله الله صلى الله عليه و سلم ، فلما أصبح قال: (قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم) قال وذلك في رمضان.

“Dari sahabat ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam menjalankan sholat di m asjid, maka ada beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya beliau bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu berkumpul menanti shalat berjamaah ) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih) diwajibkan atas kalian.” Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebenarnya dalil ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tarawih berjama’ah dimesjid dipimpin oleh satu imam, bukanlah bid’ah. Namun, untuk menjawab kerancuan yang timbul dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka jawabannya bisa dari dua sisi:

1. Maksud Umar adalah bid’ah dengan makna secara bahasa, yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini disebabkan sejak wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sholat tarawih berjama’ah tersebut belum pernah dilakukan kembali ketika masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

2. Jika pun maksud perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut bid’ah secara istilah, maka perkataan tersebut tidaklah dapat diterima karena bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كل بدعة ضلالة

“Seluruh bid’ah sesat…” (HR. Muslim 2/592)

Kesimpulan

Sungguh tidak akan habis kerancuan yang dilontarkan ketika seseorang lebih mengikuti hawa nafsunya daripada kebenaran yang telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dengan kaedah-kaedah yang disebutkan pada artikel ini dapat membentengi kita dari kerancuan lain yang menyambar-nyambar hati. Allah Ta’ala berfirman,

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3).

Ingatlah pula, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bersabda,

“Tidak tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepadamu.” (HR. Thabrani, sanadnya shahih).

Maka cukupkanlah dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang demikian juga sudah sangat menyibukkan jika kita telah mengetahui dan mengamalkannya. Ataupun jika baru sedikit sunnah Nabi yang kita ketahui, maka istiqomahlah menjalankannya, karena yang demikian adalah amal yang paling dicintai Allah (HR. Bukhari dan Muslim).

Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada diri kami, bersihkanlah jiwa kami dari hawa nafsu karena Engkau-lah sebaik-baik pembersih jiwa.

Maraji’:

1. Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Al Ustadz Aris Munandar
2. Membedah Akar Bid’ah. Syaikh Ali Hasan Al Halabi Al Atsari. Pustaka Al Kautsar cet ke-4 2005
3. Ringkasan Al I’tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf. Media Hidayah cet ke-1 2003

***

Sumber: www.muslimah.or.id
Disusun: Ummu Ziyad

Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

3. Salah kaprah dalam memahami "bid'ah hasanah"

Sumber: www.abuzuhriy.com

Inilah perkataan yang sering dilontarkan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu) yang ingin membenarkan amalan-amalan bid’ah yang mereka lakukan dengan dalih bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, namun ada bid’ah yang baik (hasanah), perkataan inilah yang sering mereka nisbatkan dan sandarkan kepada madzhab syafi’i. Maka marilah kita lihat bagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ulama-ulama yang bermadzhab syafi’iyyah mengenai hal ini.

Harmalah bin Yahya meriwayatkan :

سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )

”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela”

[Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H]

Dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i diatas itulah yang menjadi sandaran kebanyakan orang yang ‘mengaku’ bermadzhab syafi’iyyah, yang ternyata perkataan inilah yang membantah mereka sendiri.

Kalaulah kita mendefinisikan secara terperinci apa yang dimaksud dengan ‘yang sesuai dengan sunnah’ dan apa yang dimaksud dengan ‘yang menyelisihi sunnah’ (bid’ah) maka perkataan diatas sejalan dengan hadits Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda, yang artinya:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Shåhih, HR. Muslim no. 867)

Sesungguhnya tidak ada pertentangan dari sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam diatas, dengan perkataan imam asy-syafi’i, Seperti yang telah dinyatakan diatas. Karena, jika kita mendefinisikan dan menempatkannya secara benar mengenai maksud bid’ah tersebut, maka akan kita temukan bahwa ternyata keduanya akan sejalan tanpa ada pertentangan.

Pelurusan Definisi Bid’ah secara Bahasa Dan Maknawi

1. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at [Lihat Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim 2/590]

Contohnya yaitu, adanya sarana-sarana baru dalam agama, seperti pesawat terbang, bus, mobil atau alat transportasi lainnya yang memudahkan jama’ah haji dalam perjalanan hajinya, adanya microphone untuk memudahkan orang mendengarkan adzan, adanya telefon untuk memudahkan silaturahmi, adanya internet untuk dapat memudahkan dakwah, dan berbagai hal-hal baru yang dapat membantu kaum muslimin dalam menjalankan dan mengamalkan syari’at ini.

Benar ini adalah Bid’ah, karena dahulu sarana-sarana semacam ini tidaklah ada sebelumnya, namun perlu diketahui penggunaan sarana ini tidaklah mengubah/menambah amalan atau syari’at baru yang telah sempurna. Jadi hal ini bukanlah termasuk bid’ah yang sesat, seperti yang disabdakan oleh Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam.

2. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah syar’iyyah, inilah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, yang bid’ah disini bermakna,

“Suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dan menanggapnya bagian dari syari’at, yang dimana tujuan dibuatnya adalah untuk beribadah kepada Allah, yang sebelumnya belum pernah sama sekali ada petunjuk dan tuntunan dari Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam”

Dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah (bahasa) itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.

Inilah yang disebut Imam Asy-Syafi’i Bid’ah yang tercela, karena ini telah menyelisihi syari’at yang dibawa oleh Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam. (seperti dalam pendefinisian beliau, bahwa bid’ah yang tercela adalah yang menyelisihi syari’at).

Dalam sabda, Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam,

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya..

كُلَّ “kullu”, yang dimaksudkan adalah ‘semua tanpa terkecuali’, Asy-Syatibhi mengatakan,

“Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.”

(Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa pun menguatkan hadits diatas dengan berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Taruhlah jika mereka tetap kekeuh bahwa tidak setiap bid’ah adalah sesat. Maka bagaimanakah mereka jika dihadapkan dengan lafazh hadits berikut?

كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار

..wa kullu bid’atin dhålaalah, wa KULLU DHÅLAALATIN finn-naar

“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”

[HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang SHÅHIYH]

Maka dengan mengganti arti “KULLU” dengan ‘sebagian’, maka makna hadits diatas akan menjadi:

“SEBAGIAN bid’ah adalah kesesatan, dan SEBAGIAN KESESATAN tempatnya di neraka”

Maka kita tanyakan: “Apakah ada kesesatan yang membawa ke surga?” Allåhul musta’aan, cukuplah ini menjadi hujjah yang nyata bagi orang-orang yang berpikir!

Bantahan Terhadap “Dalil-Dalil Pendukung” Bid’ah Hasanah

Lalu bagaimanakah bid’ah hasanah yang sering digembar-gemborkan dengan menggunakan sabda Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam, perkataan ‘Umar bin Khåttab, perkataan imam asy-syafi’i, perkataan ibnu mas’ud, dan perkataan Al ‘Izz?

Maka hal ini, insya Allåh akan kita bahas secara mendalam,

1. Pemahaman mereka terhadap hadits,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

”Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no: 1017).

Bantahan:

- Yang dimaksud dengan مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً adalah

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah (yang sudah ada, dan telah dicontohkan Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Bahkan, asbabul wurud dari hadits diatas yaitu ketika salah seorang shahabat Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka berturut-turut memberikan sedekah.”

“Hadits ini tidak menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid’ah hasanah) karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits tersebut tidak menyatakan:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً

Siapa yang mengada-adakan bid’ah hasanah,

namun beliau shalallahu ‘alaihi wassalam hanya menyatakan:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah

Sementara sunnah bukanlah bid’ah. Sunnah adalah apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, dan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Råsulullåh shållallåhi ‘alaihi wa sallam, demikianlah yang namanya sunnah.

Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah ash-shåhihah –dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut-, maka ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.

- Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati,.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”

- Imam An-Nawawi juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya.

Beliau menafsirkan, “Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444).

Maka kecelakaan besarlah, bagi para pelaku bid’ah, jika ternyata banyak yang mengikuti kebid’ahannya itu, karena ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya (tanpa mengurangi dosa para peniru kebid’ahan tersebut), baik semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. Bukannya hadits ini menjadi dalil pembenar para pengekor hawa nafsu malah inilah yang bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

- Bahwa makna “barangsiapa” dalam hadits tersebut adalah “barangsiapa” yang memberi contoh aplikatif bukan inovatif. Maka yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah mengamalkan sesuatu yang telah ada dalam sunnah nabawiyah (bukan yang diada-adakan).

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).

- Yang menyatakan ,”Barang siapa yang memberi sunnah/contoh yang baik dalam Islam” adalah yang menyatakan,” Setiap bid’ah adalah sesat.” Dan mustahil beliau shållallåhu ‘alaihi wa sallam mengatakan sesuatau yang mendustakan pernyataannya sendiri, sedangkan kedua hadits tersebut adalah shåhih, sehingga informasi Islam ini berbenturan.(Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19)

2. Pemahaman mereka mengenai perkataan ‘umar,

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)

Bantahan

- Disebut bid’ah hasanah disini adalah bid’ah secara bahasa-nya, dan bukanlah dimaksudkan sebagai bid’ah secara syar’i.

Bahkan ini telah dijelaskan oleh ulama lain, seperti Al Alamah Ibnu Hajar al haitami didalam fatwanya yang menyatakan :

“….sedangkan ucapan ‘Umar berkenaan dengan tarawih : Sebaik-baik bid’ah,…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebelumnya : sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Katakanlah Aku bukanlah rasul yang pertama diantara rasul-rasul ….”(al Ahqaf :9)

Dikuatkan juga dengan perkataan Al-Imam Ibnu Råjab:

“Sementara yang berkaitan dengan ucapan sebagian ulama salaf yang mengkategorikan beberapa perbuatan sebagai bid’ah hasanah adalah ditinjau dari pemakaian istilah bid’ah itu secara etimologi , bukan TERMINOLOGI syar’I . Termasuk ucapan Umar Radhiallahu ‘anhu :”Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini!!” Maksudnya adalah perbuatan tersebut tidak dilakukan pada saat itu. Namun terdapat dalil yang menjadi dasar perbuatan itu.”

(silahkeun lih. Jami’ul ulum wal Hikam hadits no.28)

Terbukti, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i.

Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa.

Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An-Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)

- Kalaupun memang perkataan Umar diatas yang dimaksudkan adlaah bid’ah syar’i, maka hal tersebut harus disanggah. Karen perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)

Ingatlah pula dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i, dalam kitabnya, Hilyatul Awliya’ pada halaman 107, yang artinya:

“Apabila engkau dapati ajaran dari Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka ikutilah ajaran itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorangpun”

- Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an dan As Sunnah Ash-Shåhihah sesuai pemahaman shåhabat atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.

Misalnya mengenai acara selamatan kematian (tahlilan). Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.

Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.

Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?

Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

4. Pemahaman mereka terhadap atsar, ”Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik menurut Allah .”(Musnad Ahmad 1/39).

Bantahan:

- Periwayatan atsar tersebut hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah . Ibnul Qoyyim berkata,” Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak seorangpun menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang hadits. Ini hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al- Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim hal:167). Komentar Az-Zaila’iy:” Gharib secara marfu’ dan tidak aku dapatkan kecuali terhenti pada Ibnu Mas’ud.”(Nashburrayah 4/133).

- Fungsi alif lam dalam kata “almuslimun”(pada atsar di atas) adalah untuk menyatakan sesuatu yang telah diketahui yaitu para shahabah sebagaimana yang ditunjukkan oleh alur kalimat dalam atsar tersebut dimana dikatakan di situ,” Sesungguhnya Allah melihat hati-hati para hambaNya, maka Allah dapatkan hati Muhammad sebaik-baiknya lalu Allah pilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya untuk mengemban misi-Nya, di mana hati para shahabah adalah yang terbaik lalu Allah jadikan mereka para pendukungnya. Mereka berperang demi membela agamanya, maka apapun yang dianggap baik para muslimun tersebut baik pulalah dalam pandangan Allah. Sebaliknya apapun yang dianggap buruk oleh mereka, maka buruk pulalah dalam pandangan Allah .”

- Bagaimana mungkin berdalih untuk menganggap baiknya sebuah bid’ah dengan perkataan seorang shahabah yang merupakan orang yang paling keras dalam melarang daqn mengecam bid’ah. Bukankah telah kita baca bersama beliau mengatakan:”Ikutilah dan jangan membuat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Dan banyak lagi ucapan-ucapan beliau yang lain dalam hal ini.

5. Perkataan Imam Syafi’iy (semoga Allah merahmatinya),” Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.”(Hilyatul aulia 9/113). “ Yang diadaadakan dalam agama itu ada dua macam, yang diada-adakan menyelisihi Al-Quran atau sunnah, atsar atau ijma’ maka itulah bid’ah kesesatan. Sementara yang diadakan dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan itu semua, maka itu adalah muhdash yang tidak tercela.” (Manaaqib Asy-Syafi’iy, Albaihaqy 1/469 dan Al-Baaits Abii Syaamah hal 94).

Bantahan:

- Perkataan Rasulullah merupakan hujjah atas siapapun, tidak boleh dikalahkan dengan perkataan siapapun. Tidak berlaku sebaliknya.

- Bila kita cermati perkataan beliau, tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah terpuji adalah bid’ah secara bahasa, sebab semua bid’ah dalam syari’ah yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan beliau mendefinisikan bid’ah terpuji dengan batasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan al-Kitab dan As-Sunnah dan setiap bid’ah dalam syaria’h pasti menyelisihi firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.

- Beliau(Imam Syafi’iy) terkenal dengan antusiasmenya yang tinggi dalam mengikuti jejak Rasulullah serta sangat murka terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah . Beliau berkata,” Jika telah kau dapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah , maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan fatwaku.”(Siyar 10/43).

6. Pernyataan Al ‘Izz Ibnu Abdissalam:” Bahwa bid’ah terbagi kedalam kategori wajib, haram, sunnah dan mubah. Dan cara mengetahuinya adalah dengan menimbang bid’ah tersebut di atas kaidah-kaidah syar’iyyah. Jika masuk dalam kaidah yang menghasilkan hukum wajib, maka keberadaan bid’ah tersebut menjadi wajib begitupula jika haram.”(Qowa’idul Ahkam 2/173).

Bantahan:

- Tidak boleh membantah hadits Rasulullah dengan perkataan siapapun, seperti pada kasus ‘umar dan imam syafi’i diatas

- Hal ini juga dibantah oleh Imam Asy-Syathibi berkata:” Pembagian ini adalah rekayasa tak berdalilkan syar’iy dan kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah kehampaannya dari dalil syar’iy baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas pembagian itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan usaha korelasi antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina mutanafiyaini).”(Al- I’tishom 1/246).

- Bahwa yang dimaksud beliau diatas adalah bid’ah secara bahasa, bukan syar’iy berdasarkan contoh-contoh yang beliau berikan dalam hal itu.

- Al’Izz adalah sosok ulama yang terkenal dengan sikap penyerangan serta pelarangannya yang keras terhadap bid’ah. Bahkan beliau sendiri yang melarang orang melakukan hal-hal yang mereka namakan dengan bid’ah hasanah.

Kesimpulan

Maka, pengelompokkan Bid’ah di atas, tidak mungkin dan tidak boleh kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan dan membenarkan amalan-amalan bid’ah (makna syar’iyyah) sebagai bid’ah hasanah (satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau). Karena dengan mengklasifikasikan seperti ini, maka bid’ah hasanah pada hakekatnya akan kembali kepada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, yang mana ditentang oleh beliau rahimahullah sendiri.

Sebagaimana dalam beliau,

مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat/akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)”

[Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].

Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’iy di atas :

معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع

“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy (yang telah ditetapkan Allåh dan Råsul-Nya)” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].

Dalam kesempatan lain, Imam Syafi’i berkata, dalam Ar-Risalah :

إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].

Cobalah kita tanyakan kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baik-tidaknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya.

Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah.

Maka marilah kita tutup dengan perkataan Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) :

فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).

“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at (baru)” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50]

Maraji’:

- Al-Ustadz Abul Jauzaa, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah dan Bid’ah Hasanah, www.abul-jauzaa.blogspot.com

- Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, Mengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?, www.muslim.or.id

- Makalah Ust Syaikh Mudrik Ilyas dalam acara Daurah Dirosah Islamiyah pada tanggal 15, 16, 17 Maret 2002 di Masjid Abu Bakar shiddiq oleh Lajnah dakwah Yayasan Qolbun Salim Malang.”

*Dengan beberapa perubahan dan penambahan

4. Wasiat dan Pernyataan Para Imam Ahlus Sunnah Tentang Berittiba’ dan Larangan Berbuat Bid’ah

1. Muadz bin Jabal rådhiyallåhu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, raihlah ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat! Ingatlah bahwa diangkatnya ilmu itu dengan wafatnya ahli ilmu. Hati-hatilah kamu terhadap bid’ah tanaththu’ (melampaui batas). Berpegang teguhlah pada urusan kamu yang terdahulu (berpegang teguhlah pada al-Qur’an dan as-Sunnah).”(Al-Bida’wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah no.65)

2. Hudzaifah bin al-Yaman rådhiyallåhu ‘anhu berkata, “Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam sebagai ibadah, maka janganlah kamu lakukan! Karena generasi pertama itu tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (dalam masalah agama). Bertakwalah kepada Allah wahai para qurra’ (ahlul qira’ah) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kami!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah)

3. Abdullah bin Mas’ud rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata, “Barangsiapa mengikuti jejak (seseorang) maka ikutilah jejak orang-orang yang telah wafat, mereka adalah para Sahabat Muhammad shållallåhu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah sebaik-baik ummat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit berpura-pura. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya shållallåhu ‘alaihi wasallam dan menyebarkan agamanya, maka berusahalah untuk meniru akhlak dan cara mereka. Karena mereka telah berjalan diatas petunjuk yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/214) dan Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no.1810), tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairi.)

Dan juga beliau rådhiyallåhu ‘anhumaa, berkata, “Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh bagi kalian telah cukup, berpegang teguhlah pada urusan yang terdahulu (maksudnya al-Qur’an dan as-Sunnah)(Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/69), al-Lalika –I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no.104), at-Thabrani fil Kabir no.8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.175).

4. ‘Abdullah bin ‘Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata, “Senantiasa manusia berada diatas jalan (yang lurus) selama mereka mengikuti atsar” (Dikeluarkan oleh Imam al-Lalika-I dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.101.

Dan beliau juga berkata, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia mengaggapnya baik” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra (I/180) no.191, Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.205 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah).

5. Sahabat yang mulia Abu Darda’ rådhiyallåhu ‘anhu berkata, “Kamu tidak akan tersesat selama kamu mengikuti atsar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.232.

6. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib rådhiyallåhu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu (berdasarkan) akal, maka pasti bagian bawah sepatu khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi saya melihat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atasnya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab al-Mushannaf dan dengan lafazh yang hampir sama dikeluarkan oleh Abu Dawud no.162, ad-Daraquthni

7. Abdullah bin Amr bin Ash rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata, “Tidak ada suatu bid’ah yang dilakukan melainkan bid’ah tersebut semakin bertambah banyak. Dan tidak ada suatu sunnah yang dicabut melainkan sunnah tersebut bertambah jauh.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.227 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.128.)

8. Dari Abis bin Rabi’ah berkata : “Saya melihat Umar bin al-Khaththab rådhiyallåhu ‘anhu mencium Hajar Aswad seraya berkata :“Sesungguhnya saya mengetahui bahwa kamu adalah sebuah batu yang tidak dapat memberi mudharat maupun manfaat. Senadainya saya tidak melihat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam meniummu pasti saya tidak menciummu.” (HR. al-Bukhari no.1597 dan Muslim no.1270 (248) dari Sahabat Umar bin al-Khaththab.)

9. Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz råhimahullåh berkata, “Berhentilah kamu di mana para Sahabat berhenti (dalam memahami nash), karena mereka berhenti berdasarkan ilmu dan dengan penglihatan yang tajam mereka menahan (diri). Mereka lebih mampu untuk menyingkapnya dan lebih patut dengan keutamaan.”

“Seandainya hal tersebut ada di dalamnya. Jika kamu katakan, ‘Terjadi (suatu bid’ah) setelah mereka’. Maka tidak diada-adakan kecuali oleh orang yang menyelisihi petunjuknya dan membeci sunnah.

“Sungguh mereka telah menyebutkan dalam petunjuk itu apa yang melegakan (dada) dan mereka sudah membicarakannya dengan cukup. Maka apa yang diatas mereka, adalah orang yang melelahkan diri. Dan apa yang dibawahnya, adalah orang meremehkan.”

“Sungguh ada suatu kaum yang meremehkan mereka, lalu mereka menjadi kasar. Dan ada pula yang melebihi batas mereka, maka mereka menjadi berlebih-lebihan.”

“Sungguh para sahabat itu, diantara kedua jalan itu (sikap meremehkan dan berlebih-lebihan), tentu diatas petunjuk yang lurus.”

(Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqadil Hadi Ila Sabilir Rasyad yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal.41 cet.Maktabah Adhwa-us Salaf, th. 1415 H.

10. Imam al-Auza’i råhimahullåh berkata, “Hendaklah engkau berpegang dengan atsar orang pendahulu (Salaf) meskipun orang-orang menolakmu dan jauhkanlah dirimu dari pendapat para tokoh meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataan yang mudah, sesungguhnya hal itu akan jelas sedang kamu berada diatas jalan yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam kitab Sarah Ashhabul Hadits. (Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445) no.127 dishahihkan oleh al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw lil mam adz-Dzahabi hal.138, Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1071) no.2077)

11. Ayub as-Sakhtiyani råhimahullåh berkata, “Tidaklah Ahlul Bid’ah itu bertambah sungguh-sungguh (dalam bid’ahnya), melainkan semakin bertambah pula kejauhannya dari Allah” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam al-Bida’wan Nahyu Anha no.70

12. Hasan bin Athiyyah råhimahullåh berkata, “Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agamanya melainkan tercabut dari sunnah mereka seperti itu pula.” (dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.129.)

13. Muhammad bin Sirin råhimahullåh berkata, “Orang salaf pernah mengatakan : “Selama seseorang berada diatas atsar, maka pastilah dia diatas jalan (yang lurus).” (Dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiwaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.109 dan Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.241.

14. Sufyan ats-Tsauri råhimahullåh berkata : “Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih mungkin dia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat dari bid’ahnya”. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.238)

15. Abdullah bin al Mubarak råhimahullåh berkata, “Hendaknya kamu bersandar pada atsar dan ambillah pendapat yang dapat menjelaskan hadits untukmu.” (Dikeluarkan oleh al-Bahawi dalam kitab sunan al-Kubra)

16. Imam asy-Syafi’i råhimahullåh berkata, “Semua masalah yang telah saya katakan tetapi bertentangan dengan sunnah, maka saya rujuk saat hidupku dan setelah wafatku.” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih dan tercantum juga dalam Manaaqib asy Syafi’i, (I/473) dan Tawali at-Tas’sis hal.93).

Rabi’ bin Sulaiman berkata : “Imam asy-Syafi’I pada suatu hari meriwayatkan hadits, lalu seseorang berkata kepada beliau : ‘Apakah kamu mengambil hadits ini wahai Abu ‘Abdillah?’ Beliau menjawab : “Bilamana saya meriwayatkan suatu hadits yang shahih dari Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam lalu saya tidak mengambilnya, maka saya bersaksi di hadapan kalian bahwa akalku telah hilang” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah dan tercantum juga dalam Adab asy-Syafi’I hal. 67, al-Manaaqib asy-Syafi’i, (I/474) dan Hilyah al-Auliya (IX/106).

17. Dari Nuh al Jaami’ berkata : Saya bertanya kepada Abu Hanifah råhimahullåh: Apakah yang Anda katakan terhadap perkataan yang dibuat-buat oleh orang-orang, seperti A’radh dan Ajsam”

Beliau menjawab “Itu adalah perkataan orang-orang ahli filsafat. Berpegang teguhlah pada atsar dan jalan orang salaf. Dan waspadalah terhadap segala sesuatu yang diada-adakan, karena hal tersebut adalah bid’ah” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih. Lihat manhaj Imam asy-Syafi’I fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Aqill.)

18. Imam Malik bin Anas råhimahullåh berkata, “Sunnah itu bagaikan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa mengendarainya niscaya dia selamat. Dan barangsiapa terlambat dari bahtera tersebut pasti dia tenggelam.”

Dan beliau juga berkata, “Seandainya ilmu kalam itu merupakan ilmu, niscaya para sahabat dan Tabi’in berbicara tentang hal itu sebagaimana mereka bicara tentang hukum dan syari’at, akan tetapi ilmu kalam itu bathil yang menujukkan kepada kebathilan.”

Dari Ibnu Majisyuun, dia berkata : “Saya mendengar Malik berkata: “Barangsiapa berbuat suatu bid’ah dalam Islam lalu ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan, berarti ia telah menyangka bahwa Muhammad shållallåhu ‘alaihi wasallam telah berkhianat terhadap risalah. Karena llah telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…” Maka apa-apa yang saat itu tidak merupakan agama, maka pada saat ini juga tidak merupakan agama”

19. Imam Ahmad bin Hanbal råhimahullåh berkata : “Pokok Sunnah menurut kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah : Berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam dan mengikuti mereka serta meninggalkan bid’ah. Segala bid’ah itu adalah sesat.”

20. Dari al-Hasan al-Bashri råhimahullåh berkata : “Seandainya seseorang mendapatkan generasi Salaf yang pertama kemudian dia yang dibangkitkan (dari kuburnya) pada hari ini, dimana orang tersebut tidak mengenal tentang Islam dan beliau shalat saja “Kemudian berkata “Demi Allah, tidaklah yang demikian itu merupakan suatu bentuk keterasingan bagi setiap orang yang hidup dan dia tidak mengetahui tentang generasi Salafush Shalih, Lalu ia melihat orang ahlul bid’ah mengajak kepada bid’ahnya dan melihar orang ahli dunia menyeru kepada dunianya. Lalu orang (yang dalam keterasingan itu) dipelihara oleh Allah dari firnah tersebut. Allah jadikan hatinya rindu kepada Salaush Shalih itu, ia bertanya tentang mereka, menapaki jejak mereka, dan mengkuti jalan mereka, maka pasti Allah akan memberikan kepadanya pahala yang besar. Oleh karena itu, jadilah kalian seperti itu, insya Allah.”

21. Alangkah indahnya ungkapan orang seorang laim yang mengamalkan ilmunya yaitu al Fudhail bin ‘Iyadh råhimahullåh berkata : “Ikutilah jalan-jalan kebenaran itu,, dan jangan hiraukan walaupun sedikit orang yang mengikutinya ! jauhkanlah dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah terpesona dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan!”

22. Abdullah bin Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata kepada seorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu perkara, lalu orang tersebut berkata : “sesungguhnya ayahmu telah melarangnya. Lalu Abdullah menjawab :“Apakah perintah Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam yang lebih berhak untuk diikuti ataukah perintah ayahku?”

Abdullah bin Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa adalah Sahabat yang paling keras dalam menentang segala macam bid’ah dan beliau sangat senang dalam mengikuti as-Sunnah. Pada suatu saat beliau mendengar seseorang bersin dan berkata: “Alhamdulillah washaltu wasalmu ala Rasulillah”. Lalu bacalah shalawat Abdullah bin Umar :“Bukan demikian rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam mengajari kita, akan tetapi beliau bersabda: Jika salah satu diantara kamu bersin, maka pujilah Allah (dengan mengucapkan) : alhamdulillah, dan beliau tidak mengatakan : Lalu bacalah shalwat kepada Rasulullah!”

23. Abdullah bin Abbas rådhiyallåhu ‘anhumaa berkata kepada orang yang menentang sunnah dengan ucapan Abu Bakar dan Umar rådhiyallåhu ‘anhumaa, “Nyaris turun hujan batu dari langit atas kamu; saya berkata kepadamu: ‘Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam bersabda’, sedang kamu berkata, ‘(tapi) Abu Bakar dan Umar berkata’.

Sungguh benar Abdullah bin Abbas rådhiyallåhu ‘anhumaa dalam mensifati Ahlus Sunnah dimana beliau mengatakan : “Melihat kepada seorang dari Ahlus Sunnah, itu dapat mendorong kepada as-Sunnah dan mencegah dari bid’ah”.

24. Sufyan ats-Tsauri råhimahullåh berkata : “Jika sampai kepadamu kabar tentang seseorang dibelahan tirumu bumi bahwa dia Ahlus Sunnah, maka kirimkanlah salam kepadanya; karena Ahlus Sunnah itu sedikit jumlahnya.”

25. Ayub as-Sakhtiyani råhimahullåh berkata, “Sesungguhnya jika saya dikabari tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan aku merasa kehilangan sebagian organ tubuhku.”

26. Ja’far bin Muhammad berkata : “Saya pernah mendengar Qutaibah råhimahullåh berkata : ‘Jika kamu melihat orang yang mencintai Ahlus Hadits seperti : Yahya bin Said, Abdurrahman bin Madi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih …. Dan lain-lain, maka dialah Ahlus Sunnah. Dan barang siapa menyelisihi mereka, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah mubtadi’ ”

27. Ibrahim an Nakha’i råhimahullåh berkata : “Seandainya para sahabat Muhammad shållallåhu ‘alaihi wasallam mengusap kuku, pasti saya tidak membasuhnya; untuk mencari keutamaan dalam mengikuti mereka”.

28. Abdullah bin Mubarak råhimahullåh berkata : “Ketahuilah wahai saudaraku bahwa kematian seorang Muslim untuk bertemu Allah diatas sunnah pada hari ini merupakan suatu kehormatan, lalu (kita ucapkan) ; Innaa illahi Wainnaa Ilaihi Rajiun’ (sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), maka kepada Allah-lah kita mengadu atas kesepian diri kita, kepergian saudara, sedikitnya penolong dan munculnya bid’ah. Dan kepada Allah pulalah kita mengadu atas beratnya cobaan yang menimpa pada ummat ini berupa kepergian para ulama dan Ahlus Sunnah serta munculnya bid’ah.”

29. Al-Fudhail bin ‘Iyad råhimahullåh berkata : “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang dengan mereka Dia menghidupkan negeri, mereka adalah Ashhabus Sunnah.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.51)

30. Alangkah benarnya perataan dan sebutan Imam asy-Syafi’I råhimahullåh terhadap Ahlus Sunnah, seraya berkata : “Jika aku melihat seseorang dari ashhabul haduts (ahli hadits), maka seakan-akan aku melihat seseorang dari Sahabat Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wasallam”

31. Imam Malik bin Anas råhimahullåh telah meletakkan suatu kaidah yang agung yang meringkas semua yang telah kami sebutkan di atas dari ucapan para imam dalam ungkapannya : “Tidak akan dapat memperbaki generasi akhir dari ummat ini kecuali apa yang telah dapat memperbaiki generasi terdahulu. Maka apa yang pada saat itu bukan merpakan agama, demikian pula tidak dianggap agama pada hari ini.”

Itulah ucapan sebagian para Imam Salafush Shalih dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang yang paling suka memberikan nasehat kepada manusia, yang paling baik bagi ummatnya dan yang paling mengerti dengan kemaslahatan dan petunjuk bagi manusia.

Mereka mewasiatkan kepada kita agar kita senantiasa berpegang teguh pada Kitabullåh dan Sunnah Råsul-Nya shållallåhu ‘alaihi wasallam, dan memperingatkan kita dari perkara yang diada-adakan dan bid’ah serta mengabarkan seperti Nabi shållallåhu ‘alaihi wasallam mengajari mereka bahwa jalan keslamatan adalah dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi shållallåhu ‘alaihi wasallam dan petunjuknya.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm.237 – 251.

Sumber: www.abuzuhriy.com


5. Wajib Mengenal Bid’ah Dan Memperingatkannya

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari

Telah disebutkan dalam mukaddimah kitab ini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ngulang menyebutkan kata bid’ah untuk memperingatkan agar dijauhinya. Dan bahwa pengulangan tersebut berarti sebagai bentuk pengukuhan urgensi kewajiban mengenali bid’ah untuk menghindarinya.

Pengetahuan tentang bid’ah untuk menghindarinya seperti ini adalah berdasarkan sirah para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdidik dalam naungan wahyu dan hidup pada masa turunnya wahyu sebagai mana dikatakan seorang shahabat yang agung HUdzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Adalah manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, dan saya bertanya kepadanya tentang keburukan karena khawatir bila ia menimpaku sehingga aku terjerumus di dalamnya” [Muttafaq Alaihi] [1]

Dan dengan mengambil makna hadits tersebut, seorang penyair berkata.

“Aku tahu keburukan, bukan untuk keburukan, tetapi untuk menghindarinya.
Dan barangsiapa yang tidak mengerti antara kebaikan dan keburukan niscaya dia terjerumus kedalamnya”

Bahkan mengetahui sesuatu dengan cara mengetahui kebalikannya/lawannya adalah sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an seperti disebutkan dalam firman Allah.

“Artinya : Barangsiapa yang ingkar kepada Thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada ikatan tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Baqarah]

Sebab sebagaimana tauhid tidak diketahui kecuali dengan menjauhi lawannya, yaitu syirik, dan iman tidak akan terealisasikan keculi dengan menjauhi lawannya, yaitu kufur, maka kebenaran tidak akan didapatkan kecuali dengan mencermati kesalahan. Dan yang sepenuhnya sama seperti itu adalah “Sunnah”. Maka pemahaman sunnah tidak akan jelas dan tanda-tandanya tidak akan terang kecuali dengan mengetahui lawan katanya, yaitu “Bid’ah”. Dan sesungguhnya yang demikian itu telah disyaratkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

“Artinya : Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah di dalam neraka”

Demikian pula dalam sabdanya.

“Artinya : Maka kewajiban kamu adalah memegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin yang terbimbing. Peganglah erat-erat sunnah-sunnah itu dan hindarilah olehmu segala hal yang baru. Sebab setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setuap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat di dalam neraka”[2].

Ini adalah perintah yang sangat jelas dan perkataan yang sangat faih yang mengharuskan kita mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah.

Betapa indahnya perkataan Ibnu Qudamah, “Hikmah dan kemampuan tidak akan tampak sempurna kecuali dengan menciptakan lawannya agar masing-masing diketahui dengan pasangannya. Cahaya diketahui dengan adanya gelap, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adanya kemudharatan, dan manis diketahui dengan adanya pahit” [3] Dan yang termasuk kepada yang seperti itu adalah sunnah, dimana sunnah tidak dikenal kecuali dengan bid’ah.

Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata, “Perbedaan semua manusia kembali kepada tiga hal, dan masing-masing memiliki lawannya. Yitu : Tauhid lawannya syirik, sunnah lawannya bid’ah, dan taat lawannya maksiat” [4]

Imam Abu Syamah Al-Maqdisi dalam Al-Ba’its (hal 11) berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat serta orang-orang yang setelah mereka telah memperingatkan orang-orang yang semasanya dari bid’ah dan hal-hal yang baru dalam agama dan memerintahkan mengikuti sunnah yang akan menyelamatkan dari segala marabahaya”

Dan dalam Al-Qur’an terdapat perintah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti perintah meninggalkan sesuatu yang tidak datang darinya. FirmanNya.

“Artinya : Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” [Ali-Imran : 31]

Dan Allah berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalh jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Sebab jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [Al-An’am : 153]

Dan diriwayatkan bahwa Al-Hajjaj bin Jabr Al-Makki [5], seorang tokoh tabi’in dan ahli tafsir, menjelaskan firman Allah, “Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)”, ia berkata, “Yakni, janganlah kamu mengikuti segala bentuk bid’ah dan syubhat” [6]

Dan semoga Allah memberikan rahmat kepada Al-Izz bin Abdussalam yang dalam kitabnya Musajalah (hal 10) mengatakan, “Beruntunglah orang yang menjadi pemimpin umat Islam, lalu dia memberikan pertolongan dalam mematikan bentuk-bentuk bid’ah dan menghidupkan berbagai bentuk sunnah”

Kedua hal tersebut (menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah) adalah sebagai titik tolak ilmu ini (Ushul Al-Bida’) dan asas kajiannya untuk mengetahui kaidah-kaidahnya dan membeberkan segala hal-hal yang samara darinya.

DAlam Nihayatul Mubtadi’in disebutkan, “Wajib mengingkari segala bentuk bid’ah yang menyesatkan dan menegakkan hujjah atas kebatilannya, baik diterima atau ditolak oleh pelakunya” [7]

Al-Marrudzi berkata, “Saya berkata kepada Abu Abdullah –yakni Imam Ahmad bin Hanbal-, “Bagaimanha pendapatmu tentang seseorang yang tekun shalat dan berpuasa, namun dia diam dan tidak membantah ahlu bid’ah?” Maka muramlah muka beliau lalu berkata, “jika dia shalat dan puasa, namun menjauh dari manusia, bukankah yang demikian itu untuk dirinya sendiri ?” Saya berkata, “Benar”. Ia berkata, “Jika dia bicara maka untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain. Dan berbicara itu lebih utama” [8]

Dan betapa indahnya perkataan Imam Qatadah. “Sesungguhnya seseorang jika melakukan suatu bid’ah maka harus diingatkan sehingga bid’ah itu ditinggalkan” [9]

[Disalin dari kitab Al Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Taklimiyyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah, Penerjemah Asmuji Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
_________
Foote Note
[1]. Lihat takhrij dan syarahnya dalam buku saya, Ad-Da’wah Ilallah : 98
[2]. Hadits ini dengan beberapa jalan. Lihat Al-Itman Lil Taakhrij Ahadits Al-Musnad Al-Imam, hadits nomor 17184. Semoga Allah memudahkan saya untuk menyempurnakan buku ini.
[3]. Ta’wil Mukhtalaf Al-Hadits : 14
[4]. Al-I’tisham : I/91
[5]. Yaitu Imam Mujahid
[6]. Ditakhrij Ad-Darimi I/68, Al-Baihaqi dalam Al-Madhal No. 200, dan lain-lain. Lihat Ad-Dur Al-Manstur III/386
[7]. Dinukil Oleh Ibnu Muflih Dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah I/210
[8]. Thabaqat Al-Hanabilah II/216
[9]. Syarah Ushul Al-Itiqad No. 256
Sumber: www.abuzuhriy.com

6. Ciri-ciri Ahlul hawa (pengekor hawa nafsu) dan Ahlul Bid’ah (Pemimpin/penyeru kepada kebid’ahan)



Muqaddimah (Peringatan penting!)

Apa-apa yang disampaikan pada risalah singkat berikut merupakan PENJELASAN UMUM, bukan vonis kepada orang tertentu. Jika kita menemukan orang yang memiliki sifat seperti dibawah ini, maka kita menasehatinya dan meluruskan kesalahannya dengan baik, BUKAN serta merta mencapnya sebagai “ahli hawa” atau “ahli bid’ah”, karena bisa jadi ia melakukan karena KETIDAKTAHUANnya atau karena SYUBUHAT yang ada dalam hatinya.

Disebut AHLI HAWA atau AHLI BID’AH ketika seseorang telah sampai keterangan yang JELAS dan TERANG padanya, dan dia PAHAM akan keterangan tersebut, sehingga dia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah; telah hilang kebodohan dalam dirinya, telah hilang syubuhat (kerancuan/kebingungan/kesalahpahaman) dalam dirinya; namun dia masih tetap memilih hawa nafsunya, atau dia masih tetap dalam kebid’ahannya bahkan menyeru kepada hawa nafsu/kebid’ahan-nya tersebut.

Maka TIDAK BOLEH kita sembarangan MENGGELARI seseorang (secara khusus/individu) dengan gelar-gelar seperti “ahlul bid’ah” atau “ahlul hawa” karena ini merupakan perkara yang besar.

Berkata al-Imam Ahmad Råhimahullåh,

“Mengeluarkan manusia dari SUNNAH itu sungguh perbuatan yang sangat besar.”

[Lihat as-Sunnah karya Imam al-Khollal, hal. 373; melalui perantaraan (ibid) hal. 12; dinukil dari salah satu artikel Abu Salma hafizhåhullåh]

Berkata al-Imam al-Albaniy råhimahullåh,

“Tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka (dengan serta merta) kebid’ahan jatuh atasnya (sehingga ia menjadi ahlul bid’ah); dan tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran maka (dengan serta merta) kekufuran jatuh atasnya (sehingga ia menjadi kafir).”

Beliau juga berkata,

“Dalil-dalil terkadang menunjukkan bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.”

(Lihat Fitnah At Takfir, Muhammad Nashiruddin Al Albani)

Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan:

“Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per individu terkena ancaman tersebut”

(Lihat Ushul Wa Dhawabith Fi At Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh).

Berkata al-Imam al-’Utsaimin Råhimahullåh,

“Pemberian vonis kafir dan fasiq (kepada seorang tertentu) bukan urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Karena ia termasuk hukum syariah yang referensinya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya.

Dan hukum asal bagi seorang muslim yang secara dzahir nampak ciri-ciri keislamannya adalah tetap berada di atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i adanya sesuatu yang menghapusnya.

Tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan seorang muslim atau menghukuminya sebagai fasiq.”

(Al-Qawa’idul Mutsla Fi Shifatillahi wa Asma-ihil Husna, hal. 87-88)

Ciri-ciri ahlul hawa atau ahlul bid’ah

Oleh: Syaikh Ibrahim ar-Ruhailiy Hafizhåhullåh

Ahlul bidah memiliki tanda-tanda yang lengkap dan nampak sehingga mereka mudah dikenal. Dalam al-Quran dan haditsnya Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan tentang sebagian tanda-tanda mereka untuk dijadikan peringatan bagi umat dari bahaya mereka dan larangan mengambil jalan hidup mereka. Para Salaf pun telah menerangkan masalah ini.

Saya akan menyampaikan sebagian dari tanda itu yang dengan tanda itu mereka membedakan diri. Sebagai jembatan penolong supaya mengerti tentang mereka Insaya Allah. Termasuk tanda-tanda mereka adalah:

1. BERPECAH-BELAH

Sesungguhnya Allah taala telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Quran. Ia berfirman,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ . وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih setelah datang keterangan kepada mereka dan bagi mereka adzab yang besar.”

(Ali-Imran: 105)

Ia berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.”

(Al-An’am: 159)

Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini,

Ayat ini secara umum menerangkan orang yang memecah-belah agama Allah dan mereka berselisih. Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar memenangkannya atas semua agama. Syariatnya adalah satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan padanya. Barang siapa yang berselisih padanya maka merekalah golongan yang memecah belah agama seperti halnya pengikut hawa nafsu dan orang-orang sesat. Sesungguhnya Allah ta’ala berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.

Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syiar ahli bidah adalah perpecahan. Oleh karena itu al-Firqatun Najiah (golongan yang selamat) disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka adalah jumhur dan kelompok terbesar umat ini. Adapun kelompok lainnya maka mereka adalah orang-orang yang nyleneh, berpecah belah, bidah dan pengikut hawa nafsu. Bahkan terkadang di antara firqah-firqah itu amat sedikit dan syiar firqah-firqah ini ialah menyelisihi al-Quan, as-Sunnah serta ijma.

2. MENGIKUTI HAWA NAFSU

Inilah sifat mereka yang paling jelas. Allah taala berkata mensifati mereka,

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya (sesembahannya) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.

(Al-Jaathiya: 23)

Ibnu Katsir berkata,

Yakni ia berjalan dengan hawa nafsunya. Apa yang dilihat baik oleh hawa nafsunya maka ia lakukan dan apa yang dilihatnya jelek maka ia tinggalkan.

Inilah manhaj Mutazilah dalam menganggap baik dan jelek denga logika (-yakni dengan akal dan perasaan-) mereka.

Nabi telah mengabarkan bahwa hawa nafsu tidak akan terlepas dari ahli bidah dalam hadits perpecahan di mana beliau mengatakan,

Sesungguhnya ahli kitab terpecah dalam agama mereka menjadi tujuh dua puluh millah dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menadi tujuh puluh tiga millah -yakni hawa nafsu- semuanya di neraka kecuali satu millah yaitu al-Jamaah.

Sesunguhnya akan muncul pada umatku beberapa kaum hawa nafsu mengalir pada mereka sabaimana mengalirnya penyakit anjing dalam tubuh mangsanya. Tidak tersiksa darinya satu urat dan persendian pun kecuali diamasukinya.

3. MENGIKUTI AYAT-AYAT YANG SAMAR

Sifat mereka ini telah Allah kabarkan dalam firman-Nya,

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat (ayat-ayat yang samar) untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya

(Aal-i-Imraan: 7)

Bukhari meriwayatkan hadits dari Aisyah ia berkata,

Rasulullah membaca ayat ini,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

“Dialah yang menurunkan al-quran kepada kamu di antara isinya ada aya-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pkok isi ajaran al-Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya

…sampai ayat …

وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

orang-orang yang berakal.

Ia (‘Aa-isyah) berkata,

Rasulullah berkata,

Bila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutashyabihat maka merekalah yang Allah namakan sebagai orang-orang yang harus dijauhi.

(HR. Bukhari Muslim)

Dari Amiril Mukminin Umar bin Al-Khathab, bahwa ia berkata,

Akan datang manusia mendebat kalian dengan ayat-ayat mutaysabihat maka balaslah mereka dengan sunah-sunnah karena Ahlus Sunnah lebih mengetahui akan kitabullah.

4. MEMPERTENTANGKAN SUNNAH DENGAN AL-QURAN

Termasuk tanda ahli bidah adalah mempertentangkan al-Quran dengan sunnah dan merasa cukup mengambil al-quran dalam pelaksanaan hukum-hukum syara sebagaimana yang diberitakan Nabi:

Seorang laki-laki hampir bersandar di atas ranjangnya dibacakan haditsku lalu mengatakan, antara kami dan kalian adalah kitabullah. Perkara halal yang kita temukan padanya maka kita halalkan dan perkara haram yang kita temukan padanya maka kita haramkan. Ketahuilah apa-apa yang Rasulullah haramkam adalah sama dengan apa yang Allah haramkan.

Al-Imam Al-Barbahari mengatakan:

Bila kamu melihat seorang mencela hadits atau menolak atsar /hadits atau menginginkan selain hadits, maka curigailah keislamnnya dan jangan ragu-ragu bahwa dia adalah ahli bidah(pengikut hawa nafsu) Beliau berkata:Bila kamu mendengar seorang dibacakan hadits di hadapannya tetapi ia tidak menginginkannya dan ia hanya mengingnkan al-Quran maka janganlah kamu ragu bahwa dia seorang yang telah dikuasai oleh kezindikan (kemunafikan). Berdirilah dari sisinya dan tinggalkanlah ia!

Mempertentangkan sunnah dengan al-Quran dan menolaknya bila belum ditemukan pada al-Quran apa-apa yang menguatkan sunnah, termasuk tanda ahli bidah yang paling kentara. Nabi telah mengabarkannya sebelum terjadi dan benarlah beliau. Sekarang apa yang beliau kabarkan telah terjadi. Sungguh kita mendengar dan membaca peristiwa semisal itu dari sebagian ahli bidah pada jaman dulu.

Hingga kita melihat salah satu dari ahli bidah dan orang sesat jaman sekarang menghujat kitab shahih Bukhari yang telah disepakati oleh umat ini keshahihannya. Ia yakin bahwa padanya terdapat seratus dua puluh hadits yang tidak shahih yang ia sebut sebagai hadits Israiliat. Ia menghilangkannya dan mempertentangkannya dengan al-Quran kemudian ia bantah dan ingkari.

Tampillah seorang tokoh ulama sekarang menentang, meruntuhkan sybuhatnya (kerancuannya), menolak kebatilannya, menampakkan penyimpangan dan kepalsuannya dengan karyanya untuk membantahnya dan orang yang menempuh jalanya, ahli bidah. Semoga Allah membalas amalnya dengan sebaik-baik pembalasan.

5. MEMBENCI AHLI HADITS

Termasuk tanda ahli bidah adalah membenci dan mencela ahli hadits dan atsar. Dari Ahamad bin Sinan al-Qaththan katanya:

Dan tidaklah ada di dunia ini seorang mubtadi pun kecuali membenci ahli hadits.

Abu Hatim ar-Razi berkata,

Tanda ahli bidah adalah mencela ahli hadits dan tanda orang zindik adalah menamakan Ahlus Sunnah bengis. Dengan sebutan itu mereka menghendaki hilangnya hadits.

6. MENGGELARI AHLUS SUNNAH DENGAN TUJUAN MERENDAHKAN MEREKA

Termasuk tanda mereka adalah menggelari Ahlus Sunnah (yang bertolak belakang dengan sifat mereka) dengan tujuan merendahkan mereka.

Abu Hatim ar-Razi berkata:

Ciri-ciri Jahmiyyah adalah menamakan Ahlus Sunnah musyabbahah (menyerupakan Allah dengan mahluk).

Ciri-ciri Qadariah adalah menamakan Ahlus Sunnah mujabbirah (makhluk tidak mempunyai kehendak.)

Ciri-ciri Murji’ah adalah menamakan Ahlus Sunnah menyimpang dan mengurangi.

Ciri-ciri Rafidhåh adalah menamakan Ahlus Sunnah nashibah (mencela Ali).

Ahlus Sunnah tidak digabungkan kecuali kepada satu nama dan mustahil nama-nama ini mengumpulkan mereka.

Al-Barbahari berkata,

Dan orang yang tertutup (kejelekannya) adalah yang jelas ia tertutup (kejelekannya) dan orang yang terbuka kejelekannya adalah orang yang jelas aibnya.

Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan Nashibi, ketahuilah bahwa ia adalah Rafidhiy.

Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan musyabbihah atau fulan menyerupakan Allah dengan makhluk, ketahuilah bahwa ia adalah Jahmiy.

Bila kamu mendengar seorang berkata tentang tauhid dan mengatakan, terangkan padaku tauhid!, ketahuilah bahwa ia adalah Kharijiy dan Mutaziliy.

Atau mengatakan, fulan Mujabbirah atau mengatakan, dengan ijbar atau berkata dengan adilm ketahuilah bahwa ia adalah Qadari karena nam-nama ini bidah yang dibuat-buat oleh ahli bidah.

Syaikh Ismail as-Shabuni mengatakan,

Ciri-ciri ahli bidah amat jelas dan terang Sedang tanda-tanda mereka yang paling jelas adalah sangat keras memusuhi para pemilkul hadits, dan menghinakan mereka dan mengelari mereka kaku,bodoh, zhahiri,(tekstual), musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan mahluk).

Semua itu didasari keyakinan mereka bahwa hadits-hadts itu masih berupa benda mentah (bukan ilmu). Dan yang dinamakna ilmu adalah ilham yang dijejalkan setan kepada mereka, hasil dari olah akal mereka yang rusak, intuisi hati nurani mereka yang gelap….

7. TIDAK BERPEGANG DENGAN MADZHAB SALAF

Syaikhul Islam berkata,

Kelompok-kelompok bidah yang terkenal di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tidak menganut madzhab salaf antara lain kelompok Rafidhah, sampai orang awam tidak mengetahui syiar-syiar bidah kecuali rafdh (menolak kepemimpinan khulafaur rasyidin selain Ali). Dan sunni menurut istilah orang awam adalah orang yang bukan rafidhi….Sehinga diketahui syiar ahli bidah menolak madzhab Salaf.

Oleh karena itu dalam risalah yang ditujukan kepada Abdus bin Malik, Imam Ahmad berkata,

Asas sunnah menurut kami adalah berpegang dengan apa yang dijalani sahabat Muhammad (shålallåhu ‘alayhi wa sallam)….

8. MEMVONIS KAFIR ORANG YANG MENYELISIHI MEREKA TANPA (BUKTI DAN) HUJJAH (YANG NYATA)

Dalam banyak tempat Syaikhul Islam menyebutkan tentang bantahan terhadap orang yang menvonis orang yang masih belum jelas kekafirannya. Pendapat ini tidak diketahui dari seorang sahabat, tabiin, yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak pula dari salah satu imam tetapi ini termasuk salah satu pokok dari pokok-pokok ahli bidah yang membuat bidah dan menvonis kafir orang yang menyelisihi mereka semisal Khawarij, Mutazilah dan Jahmiah.

Beliau berkata,

Khawarij,Mutazilah, dan Rafidhah, menvonis kafir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Golongan yang belum mereka vonis kafir maka mereka vonis fasik. Demikian juga mayoritas ahlul ahwa menvonis bid’ah dan kafir golongan yang menyelisihi mereka berdasarkan logika semata.

Akan tetapi Ahlus Sunnah adalah golongan yang mengikuti kebenaran dari rab mereka yang dibawa oleh rasul-Nya,tidak menvonis kafir golongan yang menyelisihi mereka. Mereka golongan yang paling tahu tentang kebenaran dan kondisi manusia.

Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman Alu Syaikh ditanya tentang orang yang menvonis kafir sebagian golongan yang menyelisihinya. Beliau menjawab,

“Jawabannya, Saya tidak mengetahui sandaran ucapan itu. Berani memvonis kafir golongan lain yang menampakkan keislaman tanpa dasar syari dan keterangan yang akurat menyeilisihi manhaj para pakar ilmu agama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jalan ini adalah jalannya ahlul bidah dan orang-orang sesat.

[Diambil dari Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah min Ahlil Ahwa wal Bid'ah karya Dr. Ibrahim Ruhaily Hafizhåhullåh]
Sumber: www.abuzuhriy.com

7. Kapan seseorang disebut ahli bid’ah?

Penjelasan amat menarik dari Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhohullah.

حَنانَيْكم.. وهَدادَيْكم.. هذا حدُّ

(البدعة التي يُعَدُّ بها الرجلُ مِن أهل الأهواء)…

Inilah tolak ukur seorang itu dinilai sebagai ahli bid’ah dan ahli hawa

.. عندما يكونُ الكلامُ العلميُّ الكُلِّيُّ الجامعُ مُكَوَّناً مِن

(مبتدأ وخبر) فإنَّهُ يكونُ أكثرَ ما يكونُ موزوناً، بل يكونُ مِن أتْقَنِ الكلام وأضبطِهِ، وأقواهُ وأحسنِهِ..

Ketika perkataan ilmiah yang berisi sebuah definisi yang lengkap dan luas cakupannya itu terdiri dari unsur-unsur pembentuk kalimat yang lengkap maka kalimat tersebut akan mengandung parameter yang sangat jelas. Kalimat tersebut akhirnya menjadi kalimat yang sangat rapi, sangat kuat dan sangat bagus.

ومِن ذلك: هذا النصُّ العلميُّ الماتعُ مِن كلامِ شيخِ الإسلامِ ابنِ تيميَّة -رحمهُ الله-؛ الذي لو فُهِمَ حقَّ الفَهم، وضُبِطَ حقَّ الضَّبط، ونُزِّلَ حقَّ التنزيل: لَـحَلَّ كثيراً مِن هاتيك الإشكالات القائمةِ في بعضِ) الأذهان! أو تلك التي اخْتَرَعَتْها أذهانٌ أُخرَى!! فمزَّقَتِ الدعوةَ السلفيَّة! ورَمَتْ أبناءَها بكُلِّ شَظِيَّة!!

Di antara kalimat yang nilainya sebagaimana di atas adalah kalimat ilmiah dan sangat mengagumkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Andai penjelasan beliau ini dipahami dengan baik dan diterapkan dengan tepat maka akan hilanglah berbagai kebingungan yang ada di benak sebagian orang atau akan hilanglah berbagai hal yang dibuat oleh sebagian orang yang akhirnya mencabik-cabik dakwah ahli sunnah salafiyyah dan menyebabkan sebagian orang melemparkan tuduhan seenaknya kepada para juru dakwah ahli sunnah.

قال -رحمهُ اللهُ- في

«الفتاوَى الكُبرَى»

(4/194):

«والبدعة التي يُعَدُّ بها الرجلُ مِن أهلِ الأهواء: ما اشتُهِرَ عندَ أهل العِلم بالسُّنَّة مُخالفتُها للكتاب والسُّنَّة؛ كبدعة الخوارجِ، والروافضِ، والقَدَرِيَّةِ، والمُرجِئةِ..».

Dalam al Fatawa al Kubro jilid 4 hal 194 Ibnu Taimiyyah mengatakan,

“Bid’ah yang menyebabkan pelakunya dinilai sebagai ahli hawa adalah bid’ah yang terkenal di kalangan para ulama ahli sunnah sebagai sebuah bid’ah yang jelas-jelas menyelisihi al Qur’an dan sunnah semisal bid’ah khawarij, rafidhah, qadariyyah dan murjiah”.

فإن قيلَ:

ألا يُوجَدُ مسائلُ أُخرَى (!) تحكُمُونَ بها -على أصحابِها- بأنَّهُم مِن (أهل الأهواء)؟!

Jika ada yang bertanya, “Bukankah ada beberapa permasalahan yang lain yang kalian nilai pelakunya sebagai ahli hawa (baca:ahli bid’ah)?”

فالجوابُ:

لا بُدَّ يُوجدُ؛ ولكنْ بشَرْط أنْ تكون كتلك؛ «ممَّا اشتُهِرَ عندَ أهل العِلم بالسُّنَّة مُخالفتُها للكتاب والسُّنَّة» -مِن مسائل الأصول-؛ لا أنْ يكونَ ذلك مَحْضَ اجتهادٍ(!) -يحتملُ الخطأَ والصوابَ، والأجرَ والأجرين!- مِن العالِم الواحِد أو الاثنين -دونَ عامَّة

(أهل العلم بالسُّنَّة)

-كما هو ضابطُ كلام شيخ الإسلام-.

Jawabannya, “Tentu saja ada masalah lain selain yang telah dicontohkan akan tetapi dengan syarat masalah tersebut statusnya sebagaimana masalah-masalah yang telah dicontohkan di atas yaitu masalah-masalah yang berstatus sebagai ushul ahli sunnah (baca:ijma ahli sunnah), bukan masalah-masalah yang murni ijtihad dari satu atau dua orang ulama ahli sunnah tanpa disetujui oleh para ulama ahli sunnah selainnya. Pendapat dalam ranah ijtihad itu boleh jadi benar, boleh jadi salah. Ulama yang berijtihad itu mungkin saja mendapatkan satu pahala ataukah dua pahala. Inilah parameter yang bisa kita simpulkan dari perkatan Ibnu Taimiyyah di atas.

وهو كلامٌ فصلٌ…

{ لو كانُوا يفقهون }

Perkataan Ibnu Taimiyyah di atas sungguh merupakan perkataan yang menyibak kerancuan andai mereka mengetahuinya.

Sumber: www.alhalaby.com

Sumber: www.ustadzariz.com

8. Larangan sembarangan memvonis seseorang tertentu dengan vonis “kafir” atau “ahlul bid’ah”

Oleh: Adni Abū Faris an-Nūri

Tulisan singkat ini dilatarbelakangi oleh adanya orang-orang yang sangat mudah menjatuhkan vonis sesat atau menilai pihak lain di luar komunitasnya dan/atau yang berseberangan pendapat dengannya sebagai ahli bid`ah, baik secara tegas, maupun dengan menggunakan julukan yang samar, semisal: “Hizbi” dan lain-lain, tanpa menyadari betapa berat dan bahayanya vonis semacam ini. Dan, yang paling berat adalah memvonis kafir pihak lain.

Memang benar bahwa terdapat banyak nash dan atsar Salaf yang mencela bid`ah dan ahli bid`ah. Namun hal ini bukan menjadi pembenaran untuk kemudian bermudah-mudah dan serampangan dalam menjatuhkan vonis bid`ah serta menuduh pihak lain sebagai ahli bid`ah, terlebih lagi untuk menjatuhkan vonis kafir.

Menjatuhkan vonis kafir atau sesat atau ahli bid`ah kepada seseorang berarti melecehkan hal keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan pelecehan dalam hal agama merupakan pelecehan yang paling berat. Sebab seorang Mukmin lebih benci apabila keberagamaannya dilecehkan dibandingkan pelecehan terhadap hal-hal yang lain.

Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه

“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang untuk merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya.”

[Riwayat Muslim dan lain-lain]

Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—berkata,

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Sesungguhnya termasuk riba yang paling riba adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang Muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan).”

[Riwayat Abū Dāwūd II/685/4876 dan dinilai valid oleh al-Albāni.]

Muhammad Syams al-Haqq al-`Azhīm Ābadī berkata,

“Makna arba’r ribā adalah riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras keharamannya. Dan makna istithālah adalah mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim.

Maksudnya adalah merendahkannya dan merasa lebih tinggi darinya serta melakukan gunjingan (ghībah) terhadapnya, seperti menunduhnya berzina atau mencelanya.

Hal Ini merupakan riba yang paling keras keharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih dari harta.”

[`Aun al-Ma`būd vol. XIII, hlm. 152.]

Dan yang lebih parah dari semua itu adalah pelecehan kehormatan terhadap seorang Muslim dalam hal agamanya. Imam al-Qurthubi berkata,

العلماء من أول الدهر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم والتابعين بعدهم لم تكن الغيبة عندهم في شيء أعظم من الغيبة في الدين لأن عيب الدين أعظم العيب فكل مؤمن يكره أن يذكر في دينه أشد مما يكره في بدنه

“Ulama sejak awal masa para Sahabat Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—dan Tabi’īn setelah mereka menganggap bahwa tidak ada gunjingan yang lebih parah dibandingkan gunjingan yang berkaitan dengan agama (seseorang). Sebab aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung (cacat) tubuhnya.”

[Tafsīr al-Qurthubi, vol. XVI, hlm. 282, tafsir QS. Al-Hujurāt [49]: 12.]

Bahaya lain yang tak kalah dahsyatnya dari melecehkan atau memvonis orang lain adalah bahwa vonis tersebut akan kembali kepada pengucapnya apabila pihak yang divonis ternyata tidak sebagaimana yang dikatakan.

Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya hal itu kembali kepada salah satu dari keduanya.”

[Riwayat al-Bukhāri V/2263/5752.]

Dalam riwayat lain dari Ibn `Umar:

أَيُّمَا امْرِئْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang berkata saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika kondisinya adalah sebagaimana yang dikatakan, atau jika tidak maka kembali kepada pengucapnya.”

[Riwayat Muslim I/79/60.]

Dalam lafal lain:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Jika seseorang mengafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya.”

[Riwayat Muslim I/79/60.]

Dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوّ اللهِ وَلَيْسَ كَذلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang memanggil orang lain dengan kekufuran atau menyebutnya sebagai musuh Allah padahal tidak demikian adanya, melainkan hal tersebut akan kembali kepada yang mengucapkannya.”

[Riwayat Muslim I/79/61.]

Dalam riwayat lain dari Abū Dzarr, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ

“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.”

[Riwayat al-Bukhāri V/2247/5698.]

Imam Ibn Hajar berkata,

“Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa barangsiapa yang berkata kepada orang lain, ‘Engkau fasiq,’ atau, ‘Engkau kafir,’ jika yang dituduh tidak sebagaimana yang dikatakan maka si pengucap itulah yang berhak menyandang sifat tersebut; dan apabila yang dituduh adalah sebagaimana yang dikatakan, maka tuduhan tersebut tidak kembali kepada pengucapnya, karena ia benar atas yang dikatakannya. Namun tidak ada kelaziman bahwa meskipun si penuduh tidak menjadi fasiq atau kafir, bukan berarti ia tidak berdosa, dan dalam hal ini terdapat perincian.

Jika si penuduh tersebut bermaksud untuk menasehati yang tertuduh atau menasahati orang lain tentang kondisi si tertuduh, maka hal tersebut dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk mencela, mencemarkan nama baiknya dan semata-mata ingin menyakiti, maka hal itu tidak dibolehkan. Sebab yang bersangkutan diperintah untuk menutup aib saudaranya, mengajarinya dan menasehatinya dengan baik.

Dan, selama memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk bersikap lembut, maka ia tidak dibolehkan untuk melakukan kekerasan. Sebab, bisa jadi kekerasan itu menjadi sebab kesesatan pihak kedua atau terus-menerusnya ia di atas perbuatan lamanya, sebagaimana halnya tabiat kebanyakan manusia terhadap kekerasan. Terutama apabila yang memberi perintah itu tingkat kedudukannya masih berada di bawah yang diperintah.”

[Fath al-Bāri vol. X, hlm. 466.]

Dari riwayat-riwayat dan penjelasan di atas dapat ditarik suatu prinsip umum bahwa apabila seorang Muslim menuduh saudaranya dengan suatu tuduhan yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya maka tuduhan tersebut akan kembali mengenai si pengucapnya. Termasuk juga dalam hal menuduh orang lain sebagai ahli bid`ah.

Setelah mensinyalir riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, Syaikh al-Albāni berkata,

أريد أن ألحق به فأقول: من بدّع مسلما فإما أن يكون هذا المسلم مبتدعا، وإلا فهو المبتدع

“Saya ingin menambahkan maka saya katakan bahwa barangsiapa yang memvonis seorang muslim sebagai ahli bid`ah, maka bisa jadi yang divonis tersebut memang ahli bid`ah, atau jika tidak, maka orang yang memvonis itulah yang menjadi ahli bid`ah.”

[Muzīl al-Ilbās fī al-Ahkām `alā an-Nās, hlm. 241, disusun oleh as-Sa`īd Ibn Shābir `Abduh, Dār al-Fadhīlah, cet. pertama, 1417 H. Dengarkan pula Silsilah al-Hudā wa an-Nūr, kaset no. 666.]

Ibn Taimiyyah råhimahullåh berkata,

هذا مع أنى دائما ومن جالسنى يعلم ذلك منى انى من أعظم الناس نهيا عن أن ينسب معين الى تكفير وتفسيق ومعصية إلا اذا علم أنه قد قامت عليه الحجة الرسالية التى من خالفها كان كافرا تارة وفاسقا أخرى وعاصيا أخرى وانى أقرر أن الله قد غفر لهذه الأمة خطأها وذلك يعم الخطأ فى المسائل الخبرية القولية والمسائل العملية، وما زال السلف يتنازعون فى كثير من هذه المسائل ولم يشهد أحد منهم على أحد لا بكفر ولا بفسق ولا معصية

“Demikianlah, sementara saya senantiasa—dan orang-orang yang bermajelis dengan saya mengetahui hal tersebut—bahwa saya termasuk orang yang paling keras melarang menisbatkan person tertentu kepada kekurufan, kefasiqan dan maksiat, kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan atas yang bersangkutan hujjah risalah, di mana orang yang menyelisihi hal itu terkadang menjadi kafir, atau terkadang menjadi fasiq, atau terkadang menjadi pelaku maksiat.

Dan saya menegaskan bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan umat ini, di mana hal ini mencakup kekeliruan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan) maupun masalah amalan. Dan senantiasa Salaf saling silang pendapat pada banyak dari masalah-masalah tersebut, namun tidak seorang pun dari mereka yang bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasiqan dan kemaksiatan”

[Majmū` al-Fatāwā, vol. III, hlm. 229.]

Az-Zarqāni berkata,

لمثل هذا أربأ بنفسي وبك أن نتهم مسلما بالكفر أو البدعة والهوى لمجرد أنه خالفنا في رأي إسلامي نظري فإن الترامي بالكفر والبدعة من أشنع الأمور ولقد قرر علماؤنا أن الكلمة إذا احتملت الكفر من تسعة وتسعين وجها ثم احتملت الإيمان من وجه واحد حملت على أحسن المحامل وهو الإيمان وهذا موضوع مفروغ منه ومن التدليل عليه

“Untuk semisal hal ini, saya mewanti-wanti diri saya dan Anda dari menuduh seorang Muslim dengan kekufuran atau bid`ah dan hawa nafsu, hanya karena ia menyelisihi kita pada suatu pemikiran Islami teoritis. Sesungguhnya saling melemparkan tuduhan dengan kekufuran dan bid`ah termasuk seburuk-buruk perkara. Ulama kita telah menetapkan bahwa satu kata apabila mengandung kemungkinan kekufuran dari sembilan puluh sembilan sisi, akan tetapi mengandung kemungkinan keimanan dari satu sisi, maka dibawa kepada sebaik-baik kemungkinan, yaitu keimanan. Ini adalah tema yang telah selesai dibahas dan memiliki dalil yang kuat.”

[Manāhil al-`Irfān fī `Ulūm al-Qur'ān, Muhammad `Abd al-`Azhīm az-Zarqāni, tahqīq Fawwāz Ahmad, Dār al-Kitāb al-`Arabi, Beirut, cet. pertama, 1415 H/1995 M, vol. II, hlm. 31.]

Ibn Taimiyyah berkata,

وليس لأحد ان يكفر أحدا من المسلمون وان أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك بل لا يزول الا بعد إقامة الحجة وازالة الشبهة

“Dan tidak seorang pun memiliki hak untuk mengafirkan orang lain dari kaum Muslim, meskipun ia melakukan salah dan galat, sampai ditegakkan atasnya hujjah dan menjadi jelas baginya kebenaran. Dan barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan keyakinan maka tidak dapat dihapuskan darinya keislaman tersebut dengan keraguan. Bahkan keislaman tersebut tidak hilang kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat.”

[Majmū` al-Fatāwā, vol. XII, hlm. 466.]

Imam al-Ghazāli berkata,

والذي ينبغي أن يميل المحصِّل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً…. والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك مَحْجَمة من دم مسلم

“Hal yang seharusnya dijadikan kecenderungan oleh pembelajar adalah menghindari pengafiran (orang lain yang menyatakan dirinya sebagai Muslim) selama ia mendapatkan jalan untuk itu…. Dan kesalahan dalam membiarkan seribu orang (yang ternyata) kafir dalam kehidupan lebih ringan dibandingkan kesalahan dalam menumpahkan darah seorang Muslim.”

[Al-Iqtishād fī aI-I`tiqād, hlm. 250-251, terbitan Universitas Ankara, Turki, tahun 1962 M. Lihat pula kitab yang sama dengan tahqīq Dr. Inshāf Ramadhān, Dār Qutaibah, Beirut, cet. pertama, 1423 H/2003 M, hlm. 176.]

Demikianlah, ketika seorang memvonis saudaranya sesama muslim dengan penyimpangan dalam hal agama, terlebih lagi dengan kekufuran, maka ia telah melakukan suatu pelecehan terberat, di mana jika vonis tersebut tidak benar maka akan kembali yang pengucapnya.

Kalaupun hendak memvonis orang lain sebagai ahli bid`ah, misalnya, maka hendaklah yang bersangkutan benar-benar mengetahui syarat dan batasan bid`ah serta ahli bid`ah (istīfā’ asy-syurūth wa intifā’ al-mawāni`), juga pertimbangan eksternal lainnya, semisal pertimbangan maslahat dan mudharat dalam pengambilan sikap kepada ahli bid`ah, dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan kelompok atau ustadz semata. Sebab segala pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawaban, terlebih lagi menyangkut hak dan kehormatan orang lain.

Allāh `Azza wa Jalla berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu ikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” [QS. Al-Isrā' (17): 36]

Semoga ada manfaatnya.

Salam,

Juli 2008

Adni Abū Faris an-Nūri

Sumber: www.abuzuhriy.com
9. Larangan Bermajelis Dengan Ahli Bid’ah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.”

[QS an-Nisa : 140]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”

[QS al-An'am : 68]

Al-Baghowi dalam Ma’alimut Tanzil (2/301) dalam tafsir surat an-Nisa’ ayat 140 berkata :

Adh-Dhohhak *1* berkata : dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma :

“Termaasuk pada ayat ini semua orang yang mengada-adakan bid’ah dalam agama dan semua mubtadi’ sampai hari kiamat“.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya (5/418) berkata:

Juwaibir *2* meriwayatkan dari adh-Dhohhak, ia berkata :

“Masuk pada ayat ini semua orang yang mengada-adakan bid’ah dalam agama, mubtadi’ sampai hari kiamat“

Ibnu ‘Aun *3* berkata :

كان محمد يرى أن أهل الاهواء أسرع الناس ردة، وأن هذه نزلت فيهم: (وإذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم حتى يخوضوا في حديث غيره)

“Muhammad (bin Sirin)*4* berpendapat bahwa ahlul ahwa adalah orang yang paling cepat murtadnya, dan bahwa ayat ini (al-An’am : 68, pent) turun pada mereka : (Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain)”

[Siyar A'lamin Nubala' 4/610]

Dari ‘Aisyah, ia berkata :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini :

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

[QS. Ali Imron : 7, pent]

Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ

“Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat; mereka itulah yang disebut Allah (dalam ayat tadi, pent), maka berhati-hatilah dari mereka!”

[HR. al-Bukhori no. 4273 dan Muslim no. 2665]

Dari Abu Huroiroh, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

سيكون في آخر أمتي أناس يحدثونكم ما لم تسمعوا أنتم ولا آباؤكم فإياكم وإياهم

“Akan ada pada akhir ummatku orang-orang yang mengabarkan kepada kalian apa-apa yang belum pernah kalian dengar dan tidak pula bapak-bapak kalian, maka berhati-hatilah kalian dari mereka!”

[HR. Muslim dalam muqoddimah Shohih-nya hadits no. 6]

Asy-Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi hafidzohulloh dalam syarah ushulus Sunnah (hal. 8, versi sahab.org) setelah membawakan 2 hadits di atas, beliau berkata :

“Ini juga termasuk diantara nash-nash yang melarang dari bermajelis dengan ahlul bida’. Di sana ada orang-orang ahlul jahl dan orang-orang yang tertipu, sedangkan engkau memiliki ilmu, hujjah dan burhan (penjelasan), engkau mendakwahkan mereka kepada kebenaran dan memberi penjelasan kepada mereka, (maka ini) tidak mengapa.

Adapun engkau bermajelis untuk bersahabat, berteman, mencintai, bergaul dan yang serupa dengan itu, maka ini merupakan kesalahan yang akan menghantarkan kepada kesesatan.

Dan wajib bagi orang yang berakal untuk menjauhinya, dan sebagian shahabat telah mentahdzir dari yang demikian seperti Ibnu Abbas dan sebagian imam tabi’in seperti Ayyub as-Sikhtiyani dan Ibnu Sirin rohimahumulloh.

Dulu salah seorang dari mereka tidak mau mendengar kepada ahli bid’ah, sampai-sampai jika ahli bid’ah itu menawarkan untuk membacakan padanya sebuah hadits atau ayat,

Maka ia (imam itu) berkata :

“Tidak!”

Lalu ditanyakan kepadanya :

“Mengapa?”

Ia berkata :

“Sesungguhnya hatiku bukan di tanganku, aku khawatir ia akan melempar fitnah dalam hatiku, lalu aku tidak mampu untuk menolaknya.”

Keselamatan janganlah diganti dengan sesuatu apapun, maka janganlah seseorang memperlihatkan dirinya kepada fitnah, khususnya jika ia mengetahui bahwa dirinya lemah.”

Dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Permisalan teman duduk yang sholeh dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa misk (sejenis minyak wangi, pent) dan peniup bara api. Orang yang membawa misk, mungkin ia akan memberimu (misk) atau engkau membeli darinya atau engkau akan mendapatkan darinya bau wangi. Adapun peniup bara api, mungkin ia akan membakar bajumu atau engkau akan mendapatkan bau yang tidak sedap.”

[HR. al-Bukhori no., Muslim no., dll. Dengan lafadz Muslim]

Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ فَوَاللَّهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتَّبِعُهُ مِمَّا يَبْعَثُ بِهِ مِنْ الشُّبُهَاتِ أَوْ لِمَا يَبْعَثُ بِهِ مِنْ الشُّبُهَاتِ

“Barangsiapa mendengar Dajjal, hendaklah ia mejauh darinya. Karena demi Allah, seseorang akan mendatanginya dengan mengira bahwa ia (Dajjal) itu seorang mu’min, lalu iapun mengikutinya dalam syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh Dajjal atau karena syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh Dajjal.”

[HR. Abu Dawud (4319), Ahmad (19982), al-Hakim (8616), ath-Thobroni dalam al-Mu'jam al-Kabir (550), dll. Dishohihkan al-Albani dalam Shohihul Jami' (6301)]

Ibnu Baththoh setelah membawakan hadits ini berkata :

هذا قول الرسول صلى الله عليه وسلم ، وهو الصادق المصدوق ، فالله الله معشر المسلمين ، لا يحملن أحدا منكم حسن ظنه بنفسه ، وما عهده من معرفته بصحة مذهبه على المخاطرة بدينه في مجالسة بعض أهل هذه الأهواء ، فيقول : أداخله لأناظره ، أو لأستخرج منه مذهبه ، فإنهم أشد فتنة من الدجال ، وكلامهم ألصق من الجرب ، وأحرق للقلوب من اللهب

“Inilah sabda Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam, dan dia adalah ash-shodiqul mashduq (yang benar dan dibenarkan).

Maka Alloh! Alloh wahai sekalian kaum muslimin!! Janganlah salah seorang dari kalian membawa baik sangkanya terhadap dirinya sendiri (percaya diri, pent) dan apa-apa yang telah ia ketahui dari kebenaran madzhabnya, kepada yang membahayakan agamanya dari bermajelis dengan sebagian ahlil ahwa ini, lalu ia mengatakan :

‘aku akan masuk kepadanya untuk kudebat dia, atau aku akan mengeluarkannya dari madzhabnya’,

Sesungguhnya fitnah mereka (ahlul hawa/ahlul bid’ah) lebih parah dari Dajjal, dan perkataan mereka lebih melekat daripada kudis, dan lebih membakar hati daripada api yang menyala.”

[Lihat al-Ibanah al-Kubro 3/470, kemudian beliau membawakan riwayat contoh orang-orang yang termakan syubuhat ahlul ahwa' wal bida', wal 'iyadzu billah]

Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih.”

[HR. al-Bukhori (3158), Muslim (2638), Abu Dawud (4834), Ahmad (7922), Ibnu Hibban (6168), al-Hakim (8296), dll]

Al-Fudhail bin Iyadh berkata :

إن لله ملائكة يطلبون حلق الذكر، فانظر مع من يكون مجلسك، لا يكون مع صاحب بدعة؛ فإن الله تعالى لا ينظر إليهم، وعلامة النفاق أن يقوم الرجل ويقعد مع صاحب بدعة، وأدركت خيار الناس كلهم أصحاب سنة وهم ينهون عن أصحاب البدعة

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang bertugas mencari majelis-majelis dzikir, maka lihatlah bersama siapakah majelismu itu, janganlah bersama ahli bid’ah; karena Allah ta’ala tidak melihat kepada mereka. Dan salah satu tanda nifaq adalah seseorang bangun dan duduk bersama ahli bid’ah. Aku mendapati sebaik-baik manusia (yakni tabi’in, pent), mereka semuanya adalah ahlus Sunnah dan mereka melarang (yakni memperingatkan) dari ahli bid’ah.”

[Hilyatul Aulia (8/104)]

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu anhuma, ia berkata :

لا تجالس أهل الأهواء ، فإن مجالستهم ممرضة للقلوب

“Janganlah engkau duduk-duduk (bermajelis) dengan ahlul ahwa! karena duduk-duduk bersama mereka membuat hati(mu) menjadi sakit.”

[Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari'ah pada bab Dzammul Jidal wal Khushumat fid Din dan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumridhul Qulub wa yufsidul Iman, dengan sanad yang shohih]

Dari Abdullah ar-Rumi, ia berkata:

Datang seseorang kepada Anas bin Malik rodhiyallohu anhu, dan aku berada di sisinya, kemudian orang itu berkata :

“Wahai Abu Hamzah, aku bertemu dengan suatu kaum yang mendustakan adanya syafa’at dan adzab kubur.”

Anas berkata :

أولئك الكذابون ، فلا تجالسهم

“Mereka adalah pendusta, jangan kamu duduk bersama mereka!”

[Diriwayatkan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumridul Qulub wa yufsidul Iman, dalam kitab Ushulus Sunnah dengan tahqiq al-Walid bin Muhammad Nabih hal. 31 dikatakan bahwa sanadnya la ba'sa bihi, wallahu a'lam]

Ibnu Umar rodhiyallohu anhuma berkata ketika ditanya tentang kelompok Qodariyyah:

فإذا لقيت أولئك فأخبرهم أني بريء منهم وأنهم برآء مني

“Jika engkau bertemu mereka, kabarkan kepada mereka bahwa aku telah berlepas diri dari mereka dan bahwa mereka telah berlepas diri dariku.”

[Diriwayatkan Muslim dalam shohih-nya, hadits no. 7]

Dari al-Hasan (al-Bashri)*5* dan Muhammad (bin Sirin)[**], mereka berdua berkata :

لا تجالسوا أصحاب الأهواء ولا تجادلوهم ولا تسمعوا منهم

“Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul ahwa! janganlah kalian berdebat dengan mereka! dan janganlah kalian mendengar dari mereka!”

[Diriwayatkan Ibnu Sa'ad dalam ath-Thobaqot al-Kubro (7/172), sanadnya shohih]

Dari Marhum bin Abdil Aziz al-’Aththor, aku mendengar ayahku dan pamanku berkata : kami mendengar al-Hasan (al-Bashri, pent) melarang bermajelis dengan Ma’bad al-Juhani (seorang tokoh Qodariyyah, pent), ia (al-Hasan) berkata :

لا تجالسوه فإنه ضال مضل

“Jangan kalian bermajelis dengannya! Karena ia sesat dan menyesatkan.”

[Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah (2/391), al-Lalika'i dalam Syarah Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah (4/637), Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah 'an Syari'atil Firqotin Najiyah (2/319), al-Ajurri dalam asy-Syari'ah (1/245), al-Firyabi dalam Kitabul Qodar (1/204)]

Dari Asma bin ‘Ubaid, ia berkata:

Dua orang ahlul ahwa datang kepada Ibnu Sirin, mereka berdua berkata:

“Wahai Abu Bakr, kami akan membacakan kepadamu satu hadits!”

Ibnu Sirin berkata:

“Tidak!”

Mereka berdua berkata:

“Kalau begitu kami akan membacakan kepadamu satu ayat dari Kitabullah?”

Ibnu Sirin berkata:

“Tidak! pergilah kalian dariku, atau aku yang pergi!”

(Asma bin ‘Ubaid) berkata: Maka mereka berdua keluar, lalu beberapa orang bertanya:

“Wahai Abu Bakr, kenapa engkau (tidak mau) ketika mereka akan membacakan kepadamu satu ayat dari Kitab Allah ta’ala?”

Ibnu Sirin menjawab:

“Aku khawatir mereka berdua akan membacakan kepadaku sebuah ayat, lalu mereka menyimpangkannya, kemudian hal itu (penyimpangan tersebut) akan menetap di hatiku.”

[Diriwayatkan ad-Darimi dalam Sunan-nya (397), lihat Siyar A'lamin Nubala (11/285)]

Dari Ayyub, ia berkata : Abu Qilabah*6* berkata :

لا تجالسوا أهل الأهواء ولا تجادلوهم فإني لا آمن أن يغمسوكم في ضلالتهم أو يلبسوا عليكم ما كنتم تعرفون

“Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul ahwa dan jangan berdebat dengan mereka! karena aku tidak merasa aman jika mereka akan menenggelamkan kalian ke dalam kesesatannya atau men-talbis (membuat kesamaran) terhadap apa yang kalian anggap baik.”

[Diriwayatkan Ibnu Sa'ad dalam ath-Thobaqot al-Kubro (7/184), lihat as-Siyar (4/472) oleh adz-Dzahabi. Sanad ini shohih]

Al-Imam Sufyan ats-Tsauri*7* berkata :

من أصغى بسمعه إلى صاحب بدعة، وهو يعلم، خرج من عصمة الله، ووكل إلى نفسه

“Barangsiapa mendengarkan ahli bid’ah dengan pendengarannya, padahal dia mengetahui, maka ia keluar dari penjagaan Allah dan (urusannya) diserahkan kepada dirinya sendiri.”

Beliau juga berkata :

من سمع ببدعة فلا يحكها لجلسائه، لا يلقها في قلوبهم

“Barangsiapa mendengar suatu bid’ah, maka janganlah ia menceritakannya kepada teman-teman duduknya, janganlah ia melemparkannya ke dalam hati-hati mereka.”

Setelah membawakan perkataan Sufyan ats-Tsauri di atas, Al-Hafidz adz-Dzahabi*8* berkata:

أكثر أئمة السلف على هذا التحذير، يرون أن القلوب ضعيفة، والشبه خطافة

“Kebanyakan para imam Salaf berpendapat dengan tahdzir ini, mereka melihat bahwa hati itu lemah dan syubhat-syubhat itu menyambar-nyambar.”

[Siyar A'lamin Nubala 7/261]

Dari Yahya bin Abi Katsir*9*, ia berkata :

إذا لقيت صاحب بدعة في طريق فخذ في طريق آخر

“Jika engkau bertemu dengan ahli bid’ah di suatu jalan, maka ambillah jalan yang lain.”

[Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (3/69), Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumarridhunal Qulub wa yufsidul Iman, Ibnu Wadhdhoh dalam al-Bida' pada bab an-Nahyu 'anil Julus ma'a Ahlil Bida']

Al-A’masy*10* berkata :

كانوا لا يسألون عن الرجل بعد ثلاث: ممشاه ومدخله وألفه من الناس

“Mereka (para salaf) tidak bertanya tentang seseorang setelah jelas tiga : teman jalannya, teman masuknya dan teman pergaulannya.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah (2/476)]

Ibnu ‘Aun rahimahullåh berkata :

الذي يجالس أهل البدع أشد علينا من أهل البدع

“Orang yang bermajelis dengan ahlul bida’ itu lebih buruk bagi kami daripada ahlul bida’.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/372)]

Dari Mubasyir bin Isma’il al-Halabi, ia berkata :

Dikatakan kepada al-’Auzai*11* : Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan:

“Aku akan bermajelis dengan ahlus Sunnah dan aku akan bermajelis dengan ahli bid’ah.”

Maka al-’Auza’i mengatakan :

“Orang ini mau menyamakan antara yang haq dan yang batil.”

[Diriwayatkan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/456)]

Al-Imam al-’Auza’i juga berkata :

من ستر علينا بدعته لم تَخْفَ علينا أُلفته

“Barang siapa yang menutupi bid’ah-nya dari kami, tidaklah samar bagi kami pergaulannya.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/479)]

Ma’mar*12* berkata :

Suatu ketika Ibnu Thowus sedang duduk, kemudian datang seorang Mu’tazili lalu berbicara, Ibnu Thowus*13* lalu memasukkan dua jari ke telinganya dan berkata kepada anaknya:

أي بني أدخل أصبعيك في أذنيك واشدد، ولا تسمع من كلامه شيئاً

“Wahai anakku, masukkan dua jarimu ke dua telingamu dan kencangkanlah! Jangan engkau dengarkan apa yang ia katakan sedikitpun!”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/446), Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (1/218), lihat Siyar A'lamin Nubala (11/285)]

Dari Mufadhdhol bin Muhalhal as-Sa’di*14*, ia berkata:

لو كان صاحب البدعة إذا جلست إليه يحدثك ببدعته حذرته وفررت منه ولكنه يحدثك بأحاديث السنة في بدو مجلسه ثم يدخل عليك بدعته فلعلها تلزم قلبك فمتى تخرج من قلبك ؟

“Seandainya ahli bid’ah itu, jika engkau duduk bersamanya, lalu ia berbicara dengan bid’ahnya maka engkau akan mentahdzirnya dan lari darinya. Akan tetapi ia berbicara kepadamu dengan hadits-hadits sunnah pada majelisnya yang tampak, lalu bid’ahnya masuk kepadamu, kemudian bid’ah itu mengenai hatimu, maka kapan bid’ah itu akan keluar dari hatimu?”

[Diriwayatkan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro]

Al-Fudhail bin Iyadh*15* berkata :

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف، وما تناكـر منها اختلف، ولا يمكن أن يكون صاحب سنة يمالئ صاحب بدعة إلا من النفاق

“Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih, dan tidak mungkin seorang sohibus Sunnah menolong sohibul bid’ah kecuali karena nifaq.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata :

لا تجلس مع صاحب بدعة ، فإني أخاف أن تنزل عليك اللعنة

“Janganlah engkau duduk bersama ahli bid’ah, karena sesungguhnya aku takut akan turun laknat untukmu.”

[Diriwayatkan oleh al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah wal Jama'ah (1/137), dan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro dan dinukil oleh al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah]

al-Imam Ibnu Baththoh*16* berkata -setelah perkataan al-Fudhail tadi- :

صدق الفضيل – رحمه الله –فإنا نرى ذلك عياناً

“al-Fudhail rohimahulloh benar, sesungguhnya kami melihat yang demikian dengan mata kepala kami.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/456)]

Al-Imam Ibnul Mubarok*17* berkata :

ليكن مجلسك مع المساكين، وإياك أن تجلس مع صاحب بدعة

“Hendaklah majelismu itu bersama orang-orang miskin dan berhati-hatilah kamu dari duduk dengan ahli bid’ah.”

[Siyar A'lamin Nubala 8/399]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata*18* : Dahulu jika datang beberapa orang ahlul ahwa kepada Malik*19*, ia berkata :

أما إني على بينة من ديني، وأما أنت، فشاك، اذهب إلى شاك مثلك فخاصمه

“Adapun aku, aku yakin pada agamaku. Adapun engkau adalah orang yang ragu. Pergilah kepada orang yang ragu semisalmu, lalu berdebatlah dengannya saja!”

[Siyar A'lamin Nubala 8/99]

Al-Imam Ahmad bin Hanbal*20* berkata dalam Ushulus Sunnah bahwa diantara Ushulus Sunnah (pokok aqidah/manhaj ahlus-sunnah) adalah :

وترك الخصومات والجلوس مع أصحاب الأهواء

“…dan meninggalkan debat kusir dan duduk-duduk bersama ash-habil ahwa…”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata :

أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم ولا يخالطهم ولا يأنس بهم

“Ahli bid’ah itu, tidaklah pantas bagi seseorang untuk bermajelis dengan mereka dan bercampur dengan bereka serta bersikap lunak kepada mereka.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro 2/475]

Abu Muhammad*21* berkata:

“وسمعت أبي وأبا زرعة : يأمران بهجران أهل الزيغ والبدع ويغلظان في ذلك أشد التغليظ وينكران وضع الكتب برأي في غير آثار. وينهيان عن مجالسة أهل الكلام والنظر في كتب المتكلمين ويقولان لا يفلح صاحب كلام أبدا ” قال أبو محمد : ” وبه أقول أنا “

“Aku mendengar ayahku*22* dan Abu Zur’ah*23*, mereka berdua memerintahkan untuk menghajr ahluz-zaigh wal-bida’ dan bersikap keras dalam hal itu dengan keras yang sangat, dan mereka berdua mengingkari penulisan kitab dengan ro’yi (pendapat) saja tanpa ada atsar. Dan mereka berdua melarang bermajelis dengan ahlul kalam dan melihat kitab-kitab ahli kalam, dan mereka berkata

“Tidak akan beruntung ahli kalam selamanya.”

Abu Muhammad berkata:

“Dan aku juga berpendapat seperti itu”

[Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah wal Jama'ah (1/179)]

Dan masih banyak lagi perkataan para salaf yang melarang dari bermajelis dengan ahli bid’ah, bisa dilihat dalam kitab-kitab Aqidah Salaf seperti al-Ibanah al-Kubro, Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, asy-Syari’ah, Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, dll.

Asy-Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi dalam Syarah Ushulus Sunnah-nya (hal. 8, pdf versi sahab.org) ketika menjelaskan tentang ‘meninggalkan bermajelis dengan ash-habul ahwa’ berkata:

“Karena bermajelis dengan ash-habul ahwa’ kebanyakan akan menyebabkan kesesatan. Dan banyak orang yang tertipu dengan apa yang ada pada mereka dari ilmu dan kecerdasan, maka mereka bercampur dengan ahli bida’ dan bergaul dengan mereka, lalu Alloh menyerahkan mereka kepada diri-diri mereka sendiri sehingga mereka jatuh pada kesesatan.

Ini adalah perkara yang bisa dirasakan, dan al-Imam Ibnu Baththoh rohimahulloh telah mengisyaratkan pada yang semisal dengan ini, ia berkata :

“Kami mengenal beberapa orang yang dulunya mereka mencela dan melaknat ahlul bida’, kemudian (suatu saat) mereka bermajelis dengan ahlul bida’ dan bergaul dengan mereka, maka jadilah mereka bagian dari ahlul bida’.”

Dan ini dapat dirasakan pada setiap zaman dan tempat, sebagian orang telah tertipu dengan diri-diri mereka dari orang-orang besar, maka sangat disayangkan mereka jatuh ke jurang bid’ah, dan kami tidak ingin menyebutkan nama-nama mereka, mereka sudah ma’ruf di kalangan thullabul ilmi.”

Asy-Syaikh Salim al-Hilali dalam kitabnya al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fil Ummah (hal 17) berkata:

“Begitulah ahli bid’ah, mungkin dia akan melemparkan bid’ahnya ke dalam hatimu dengan ia membagus-baguskan bid’ahnya itu, dan mungkin dia akan membuat hatimu menjadi sakit, dari apa-apa yang engkau saksikan dari perbuatannya dan apa-apa yang engkau dengar dari perkataannya dalam perkara-perkara yang menyelisihi syari’at.”

Asy-Syaikh Salim al-Hilali setelah membawakan atsar para imam salaf berkata (hal 18):

“Dengan apa yang telah lalu dari perkataan para ‘ulama, jelaslah bagi kita bahwa bermajelis dengan ahli bid’ah berbeda dengan mendakwahkan mereka kepada kebaikan dan menjelaskan al-haq kepada mereka, dan berdebat dengan mereka untuk mematahkan syubhat-syubhat mereka*24*], karena hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan sebuah ushul dari ushul da’wah ilalloh, Alloh telah memerintahkannya dalam kitab-Nya, Alloh berfirman :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ…

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…”

[QS Ali Imron : 104]

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda memberi dalam rangka memberi pengarahan pada sebuah perkara yang umum kepada semua kaum muslimin, masing-masing sesuai dengan kemampuannya :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian (dengan hati, pent) adalah selemah-lemahnya iman.”

Jika datang larangan dari para ‘ulama dari bermajelis dengan ahli bid’ah, maka maknanya bukan berarti seorang yang ‘aalim dengan kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya tidak mendakwahkan mereka kepada kebaikan, tidak membantah mereka dan tidak medekati majelis-majelis mereka untuk tujuan ini, akan tetapi maksud para ‘ulama di sini adalah kekhawatiran bagi orang yang tidak mampu untuk menolak syubhat-syubhat mereka (ahli bid’ah) dari dirinya sehingga akan berpengaruh para hatinya, sebagaimana perkataan Abu Qilabah yang telah lalu.”

Akan tetapi para ‘ulama telah melarang debat terbuka di depan umum/orang-orang awam di tempat-tempat terbuka

Dan yang lebih buruk lagi adalah seseorang yang melindungi ahli bid’ah dan membela mereka, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

..وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا..

“…dan Allah melaknat orang yang melindungi seorang muhdits*25* ]…”]

[HR. Muslim no. 1978, Ahmad no. 855, 858, 954 dan 1306; an-Nasa'i no. 4422, Ibnu Hibban no. 6604 dan lain-lain]

Allahul Musta’aan, kita berlindung kepada Alloh dari sifat ifroth/ghuluw/melampaui batas dan tafrith/mengampang-gampangkan, dan semoga Alloh memperbaiki keadaan kita sekarang ini…

Wallahu A’lamu bish Showaab.

***

MAROJI :

- Ushulus Sunnah, oleh al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Syarah & tahqiq oleh al-Walid bin Muhammad Nabiih.

- Syarhu Ushulis Sunnah, oleh asy-Syaikh Abu Muhammad Robi’ bin Hadi al-Madkholi. Versi pdf Sahab.org.

- Al-Bida’ wa Atsaruha as-Sayyi’ fil Ummah, oleh Asy-Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali. Cet. Al-Maktabah al-Islamiyyah.

- Irsyadus Saari ila Taudhih Syarhis Sunnah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi. Sahab.org.

- Maufiq Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa wal Bida’, oleh Tholibul Ilmi (tanpa nama). Sahab.org.

Kitab-kitab dari Al-Maktabah asy-Syamilah v.1 & v.2 :

- Kitab-kitab Hadits
- Ma’alimut Tanzil (Tafsir al-Baghowi), oleh al-Imam al-Baghowi.
- Tafsir al-Qurthubi, oleh al-Imam al-Qurthubi.
- Siyar A’lamin Nubala, oleh al-Imam adz-Dzahabi.
- Al-Ibanah al-Kubro, oleh Ibnu Baththoh al-Ukbari.
- Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah, oleh Hibbatulloh al-Lalika’i.
- Syarhus Sunnah, oleh al-Imam al-Barbahari.
- Hilyatul Auliya, oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani.
- Tahdzibut Tahdzib & Taqribut Tahdzib, oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolani.
- Al-Kasyif, oleh oleh al-Imam adz-Dzahabi .
- Rowat at-Tahdzibain, al-Maktabah asy-Syamilah v.1 & v.2.
- dll.

Sumber: www.abuzuhriy.com
Catatan Kaki:

1. Adh-Dhohhak bin Muzahim al-Hilali -rohimahulloh- (Shighor tabi’in, dari thobaqot ke-5 –yakni dalam at-Taqrib Ibnu Hajar, dan begitu untuk seterusnya–) wafat setelah 100 H, seorang ‘ulama ahli tafsir, murid dari Sa’id bin Jubair (muridnya Ibnu ‘Abbas). Namun para ‘ulama khilaf apakah dia bertemu dengan Ibnu ‘Abbas atau tidak (lihat Tahdzibut Tahdzib 4/398). Wallahu A’lam

2. Juwaibir bin Sa’id al-Azdi (shighor tabi’in, dari thobaqot ke-5) adalah seorang yang dho’if dalam meriwayatkan hadits, akan tetapi para ‘ulama menerima riwayatnya dalam masalah tafsir dari adh-Dhohhak (Lihat Tahdzibut Tahdzib 2/124). -rohimahulloh-

3. Ibnu ‘Aun namanya adalah Abu ‘Aun Abdulloh bin ‘Aun al-Bashri, dari thobaqot ke-6 (sezaman dengan shighor tabi’in), wafat tahun 150 H. Ia seorang ‘ulama besar di zamannya, rowi yang tsiqoh tsabt fadhil, shahabat Ayyub as-Sikhtiyani (Lihat at-Taqrib 1/317). -rohimahulloh-

4. Muhammad bin Sirin, Abu Bakar al-Anshori, dari thobaqot ke-3 (tabi’in wustho), wafat tahun 110 H, maula Anas bin Malik, seorang kibar ‘ulama tabi’in. al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata : “Tsiqoh hujjah, salah seorang ‘ulama besar, ilmunya luas.” (Lihat al-Kasyif 1/178) -rohimahulloh-

5. al-Hasan bin Abil Hasan al-Bashri, dari thobaqot ke-3 (Tabi’in wustho), wafat tahun 110 H. Seorang Imam tabi’in yang faqiih dan masyhur. -rohimahulloh-.

6. Abu Qilabah Abdulloh bin Zaid al-Jarmi, dari thobaqot ke-3 (Tabi’in wustho), wafat tahun 104 H dan dikatakan 107 H, al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata “salah seorang imam tabi’in.” (Lihat al-Kasyif 1/554), Ibnu Hajar berkata : “Tsiqoh fadhil, banyak meriwayatkan hadits secara mursal.” (Lihat at-Taqrib 1/304). -rohimahulloh-

7. Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri (W. 161 H), dari thobaqot ke-5 (shighor tabi’in). Seorang imam, ‘Aabid, hafidz, faqiih, hujjah. -rohimahulloh-

8. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi (W. 748 H). al-Imam al-Hafidz, ahli Jarh wa Ta’dil & tarikh, Muhaddits. Penulis Siyar A’lamin Nubalaa’, al-Muwqidzoh, Mizanul I’tidal, dll. -rohimahulloh-

9. Abu Nashr Yahya bin Abi Katsir (W. 132 H), dari thobaqot ke-5 (shighor tabi’in). Salah seorang imam di zamannya. -rohimahulloh-

10. Abu Muhammad Sulaiman bin Mihron al-A’masy, dari thobaqot ke-5 (shighor tabi’in), wafat tahun 147/148 H H. Seorang tsiqoh hafidz, ahli qiro’ah. -rohimahulloh-

11. Abu Amr Abdurrahman bin Amr al-Auza’i, dari thobaqot ke-7 (Kibar tabi’ut tabi’in), wafat tahun 157 H. Seorang tsiqoh jaliil, syaikhul Islam, al-hafidz, faqiih, seorang yang zuhud. -rohimahulloh-

12. Abu Urwah Ma’mar bin Rosyid al-Azdi (W. 153 H), dari thobaqot ke-7 (kibar tabi’ut tabi’in). Seorang yang tsiqoh tsabt faadhil, ‘ulamanya Yaman ketika itu.

13. Abu Muhammad Abdulloh bin Thowus al-Yamani (W. H), dari thobaqot ke-6 (sezaman dengan tabi’in). Seorang yang tsiqoh fadhil, ahli ibadah

14. Abu Abdirrohman Mufadhdhol bin Muhalhal as-Sa’di al-Kufi (W. 167H, dari thobaqot ke- 7, Kibar Tabi’ut Tabi’in). Ia seorang ‘ulama besar di zamannya. Ibnu Hajar berkata tentangnya (at-Taqrib 1/544) : “Tsiqoh Tsabt, Nabiil ‘Aabid”

15. Abu ‘Ali Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud at-Tamimi (W. 187 H, dari thobaqot ke-8 -yakni dalam at-Taqrib Ibnu hajar, begitu seterusnya- Tabi’ut tabi’in wustho), Ibnu Hajar berkata : “Tsiqoh, ahli ibadah, seorang imam.” (Lihat at-Taqrib 1/448), Syaikh-nya Ibnul Mubarok

16. Abu Abdillah Ubaidullah bin Muhammad bin Baththoh al-Ukbari (W. 387 H). Seorang ‘ulama faqiih madzhab Hanbali, ahli ibadah, muhaddits

17. Abu Abdirrahman Adulloh bin al-Mubarok al-Handzoli (W. 181 H), dari thobaqot ke-8 (tabi’ut tabi’in wustho). Tsiqoh tsabt, faqiih, aalim, mujahid, syaikh-nya negri Khurosan

18. Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Qurosyi (150 – 204 H, dari thobaqot ke-9, shigor atba’ut tabi’in). Imam masyhur, faqiih.

19. Abu Abdillah Malik bin Anas al-Madani (93 – 179 H, dari thobaqot ke-7, kibar tabi’ut tabi’in). Imam Darul Hijroh, faqih, masyhur

20. Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani, dari thobaqot ke-10, wafat tahun 241 H. Imam yang masyhur, dijuluki sebagai Imam Ahlis Sunnah wal Jama’ah, al-Hafidz, faqiih, hujjah

21. Abu Muhammad Aburrohman bin Muhammad bin idris ar-Rozi, lebih dikenal dengan Ibnu Abi Hatim (W. 327 H). Penulis kitab al-Jarh wat Ta’dil, Adz-Dzahabi berkata tentangnya (Tadzkirotul Huffadz 3/729) : “al-Imam, al-Hafidz, an-Naqid, Syaikhul Islam”

22. Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Rozi (195 – 277 H, dari thobaqot ke-11). Adz-Dzahabi berkata (Tadzkirotul Huffadz 2/567) : “al-Imam al-Hafidz al-Kabir”

23. Abu Zur’ah Ubaidullah bin Abdil Karim ar-Rozi (200 – 264 H, dari thobaqot ke-11). Adz-Dzahabi berkata (as-Siyar 13/65) : “al-Imam, Sayyidul Huffadz”

24. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu ‘Abbas ketika beliau mendatangi orang-orang Haruriyyah (Khowarij) lalu beliau mematahkan syubhat-syubhat mereka. Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrok (2/164) hadits no. 2656, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (8/179) hadits no. 16517, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubro (5/165) hadits no. 8575, dll.

Dan sebagaimana yang dilakukan oleh asy-Syaikh al-Albani ketika menasehati orang-orang takfiriyyun, dll. Hal ini sesuai dengan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah ke jalan Robb-mu dengan hikmah dan dengan nasehat yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Robb-mu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

[QS. an-Nahl : 125 ]

25. Muhdits di sini bermakna mubtadi’ (ahlul bid’ah) atau orang zholim atau orang yang berbuat maksiat.

[Lihat ‘Umdatul Qori’ 25/43 oleh Badruddin al-’Aini ↩


10. Larangan Mengambil 'Ilmu Dari Ahlul Bid'ah

Sumber: www.abuzuhriy.com

Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid’ah).”

Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): “Yang dimakud kaum ashaaghir adalah ahli bid’ah.”

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah tepat."

Ditambah lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah perawi tsiqah.

Ada dua penyerta lain lain bagi hadits ini:

Pertama:

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:

"Manusia senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang yang berilmu dari mereka. Jika ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa."

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)].

Saya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah) katakan: “Sanad hadits tersebut shahih.”

Kedua:

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Manusia senantiasa beraa dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan binasa.”

[Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua jalur dari Salman.

Kedua haits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas dasar logika dan ijtihad. Wallahu a'lam.

KANDUNGAN BAB:

1. Kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu.

Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.

2. Ulama adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda usia.

Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitab Jaami'Bayaanil’llm,

"Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua. Orang alim itu besar meskipun usianya muda."

Lalu ia membawakan sebuah sya'ir,

"Tuntutlah ilmu, karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil, Sesepuh satu kaum yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat kepadanya."

3. Ilmu adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak menjadi orang dipercaya dan diridhai.

4. Para penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan mengikuti Salafush Shalih.

Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Keberkahan selalu bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian."

[HR Ibnu Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari 'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan: "Sanadnya shahih].

5. Ulama Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.

Seorang tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu!”

[HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].

Sebab, ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa ‘lsa bin Shabih, Telah diriwayatkan sebuah hadits shahih dari RasuluUah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu.”

(Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami’ [1/129]).

Oleh karena itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah,

“Dahulu, orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah (munculnya bid’ah), mereka berkata,

‘Sebutkanlah perawi-perawi kalian!’

Jika perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli bid’ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya.”

[HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih]

Demikian pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut dapat diketahui melalui mereka.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda di tiang masjid ini -beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan pintunya.”

[Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].

Para ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus. Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya!

Mereka berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas pemisahnya dan mengurai jalinannya.

Aksi mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.

Al-Khathib al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960,

“Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri.”

Kemudian ia mengatakan:

“Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu’ terhadap sesama penuntut ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman, mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat terpuji lainnya.”

Dalam kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti dari pasal-pasal tersebut:

1. Tingkatan keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari perawi yang memiliki sanad ‘Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan menguasai ilmu ini.

2. Jika para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang lebih layak disimak.

3. Hal itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid’ah. Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan jangan menyimak riwayat darinya.

4. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya, alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan perkara di atas.

5. Di antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia yang sangat jauh.

6. Ulama ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.

7. Jika perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.

Jika perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki banyak ilmu dan kuat hafalannya.

Seorang penuntut ilmu syar’i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli bid’ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.

(Disalin dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari 2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)